The Hours of Silence Hadirkan Gairah Anak Band ‘90an Lewat Album Late Bloomers

JAKARTA - “Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.” Ungkapan tersebut yang terlintas di kepala saya setelah menjalani sesi dengar (hearing session) album terbaru The Hours of Silence (THoS) dengan tajuk “Late Bloomers” di Radio Dalam, Jakarta Selatan akhir pekan lalu.

THoS adalah band rock beranggotakan Yuka (vokalal), Anda Perdana (gitar), Rendi (bass), dan Quiddo (drum), yang terbentuk karena pertemanan mereka saat bersekolah di SMA Pangudi Luhur pada awal tahun 1990an.

Saat itu, THoS merilis sebuah album mini dalam format kaset. Mereka juga sempat menjadi tamu dalam beberapa acara musik. Sayangnya, perjalanan mereka terlalu singkat, hingga akhir setiap personel memilih jalan hidupnya masing-masing.

Saat pandemi menghantam dunia di tahun 2020, kesempatan datang bagi Yuka, Anda, Rendi, dan Quiddo. Mereka melanjutkan mimpi menggarap album penuh yang puluhan tahun tertunda.

"Album ini menyelesaikan apa yang sudah dimulai, kami ingin mewujudkan cita-cita yang dulu gak kesampaian,” kata personel THoS.

Selama sesi dengan Late Bloomers, saya bersama beberapa rekan media disuguhkan sepuluh lagu hasil rekaman THoS dalam empat tahun terakhir. Beberapa diantaranya juga disajikan bersama dengan video musik, sementara yang lainnya dengan video lirik.

Sepintas, ingatan saya akan masa SMA muncul, ketika mencoba jadi anak band. Lagu-lagu THoS mengingatkan saya akan sound dari band-band Inggris dan Amerika di era 1990an.

Sesi dengar Late Bloomers membuat saya berkeinginan untuk mendengarkannya kembali. Setidaknya, sudah tiga kali saya memutar ulang seluruh lagu secara berurutan di Spotify.

Karya-karya mereka, menghadirkan kembali esensi intro lagu sebagai pembangun suasana, riff-riff yang kaya, serta permainan solo gitar dan bass.

Trek keenam “Silence Remain” membuat saya terkagum, bagaimana di era digital seperti saat ini, THoS menghadirkan lagu yang durasinya lebih dari tujuh menit.

“Silence Remain” sendiri sudah pernah direkam dalam bentuk demo pada tahun 1991. Lagu ini memperlihatkan bagaimana U2 jadi salah satu band rujukan mereka.

Untuk riff gitar, yang masih membekas di ingatan sejak pertama kali mendengarnya, adalah riff pada bagian chorus lagu “Headlong Journey (Quarantine)”. Bagi saya, isian gitar di lagu ini lah yang paling menarik.

Selain itu, Late Bloomers juga menghadirkan satu lagu yang direkam secara live, “… Middle-aged Man’s Song”. Lagu ini memperkaya khazanah lagu yang THoS hadirkan.

Saya merasa apa yang dibuat THoS lewat Late Bloomers merupakan karya seni yang otentik dari sekumpulan seniman. Album ini seakan ingin memperlihatkan bagaimana menikmati karya dari band rock 1990an di era sekarang.

“Kami nggak tau orang lain pada suka apa nggak, tapi yang penting inilah yang kami suka. Mudah-mudahan dengan apa yang THoS lakukan, band-band angkatan kami yang waktu itu ikutan festival antar pelajar dan punya karya sendiri bisa ngumpul lagi, ngeband dan rilis materi,” ujar personel THoS.

“Semoga yang dilakukan THoS ini bisa jadi trigger buat mereka, soalnya kalau kami bisa mereka juga pasti bisa.”

Berikut daftar lagu Late Bloomers dari The Hours of Silence:

Ordinary Commoners

Headlong Journey (Quarantine)

White Song

Across The Sky

Blood

Silence Remain

Capital

… Middle-aged Man’s Song

Carpe Diem

Starseeds