Mengupas Teknologi Mobil Hidrogen: Solusi Ramah Lingkungan yang Sebenarnya untuk Masa Depan?
JAKARTA – BMW Group baru-baru ini resmi menandatangani perjanjian dengan Toyota Motor Corporation demi memperkuat kolaborasi dalam pengembangan kendaraan hidrogen. BMW pun berambisi untuk memasarkan kendaraan bertenaga hidrogen pertamanya pada tahun 2028, menggunakan teknologi sel bahan bakar yang dikembangkan bersama Toyota ini.
Mobil hidrogen menawarkan janji untuk masa depan transportasi yang lebih hijau, meskipun masih ada banyak rintangan yang harus diatasi. Dikenal dengan istilah Fuel Cell Electric Vehicles (FCEVs), mobil hidrogen menawarkan berbagai keunggulan, terutama dari segi emisi yang hanya menghasilkan air.
Apa sebenarnya mobil hidrogen dan bagaimana cara kerjanya?
Mobil hidrogen memanfaatkan gas hidrogen sebagai bahan bakar. Tidak seperti mobil konvensional yang menggunakan bensin atau diesel, mobil ini menghasilkan energi melalui reaksi kimia antara hidrogen dan oksigen. Hidrogen dari tangki dialirkan ke sel bahan bakar (fuel cell), di mana terjadi proses pemisahan proton dan elektron oleh katalis platinum. Elektron-elektron tersebut kemudian mengalir melalui sirkuit untuk menghasilkan listrik yang menggerakkan motor mobil. Sementara itu, proton bergabung dengan oksigen di udara, menghasilkan air sebagai satu-satunya emisi.
Baca juga:
Dilansir dari Top Gear, 10 September, salah satu keuntungan utama dari mobil hidrogen adalah proses pengisian bahan bakar yang cepat—mirip dengan mobil bensin, hanya memakan waktu beberapa menit. Selain itu, hidrogen adalah elemen yang sangat melimpah di alam semesta, terutama sebagai komponen utama air, sehingga secara teori tidak sulit untuk diakses.
Namun, teknologi ini juga memiliki tantangan. Hidrogen sangat mudah terbakar, sehingga penyimpanannya memerlukan tangki bertekanan tinggi hingga 700 bar, jauh lebih tinggi dari tekanan pada ban mobil biasa. Hal ini menimbulkan kekhawatiran terkait keamanan, meski teknologi modern telah meminimalisir risiko tersebut.
Di sisi lain, infrastruktur untuk pengisian hidrogen masih sangat terbatas, dan biaya untuk membangun stasiun pengisian di Inggris saja mencapai sekitar 1 juta poundsterling (sekitar Rp20.2 miliar) . Ini menjadi penghalang utama untuk adopsi massal, terutama di pasar mobil penumpang. Makanya, kendaraan komersial, seperti bus dan truk berat, dianggap lebih cocok menggunakan teknologi ini karena hidrogen lebih ringan dan memiliki kepadatan energi yang lebih tinggi dibandingkan baterai.