Legislator Ungkap Alasan Revisi UU Pilkada Memang Harusnya Batal
JAKARTA - DPR memutuskan membatalkan melakukan Revisi Undang-undang (RUU) Pilkada yang sebelumnya dibahas di tingkat Badan Legislatif (Baleg). Anggota DPR Didi Irawadi Syamsuddin mengungkapkan alasan mengapa RUU Pilkada sudah seharusnya dibatalkan.
"RUU Pilkada dibahas di Baleg dalam waktu yang sangat singkat dan tanpa melibatkan partisipasi publik, wajarlah jika menuai penolakan mulai dari para akademisi, civil society, mahasiswa hingga masyarakat luas. Ada kekhawatiran bahwa RUU ini didorong oleh kepentingan politik pihak tertentu," ujar Didi, Jumat 23 Agustus 2024.
Sebelumnya, Baleg DPR menyetujui untuk merevisi UU Pilkada yang materinya tidak sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Sikap Baleg itu pun menuai gejolak publik, hingga akhirnya masyarakat dari berbagai kalangan menggelar aksi demonstrasi termasuk di depan Gedung DPR.
Didi menilai, proses pembahasan kilat di Baleg DPR yang tidak mengakomodasi semua putusan MK dalam RUU Pilkada tersebut telah melukai hati rakyat.
"RUU yang dibahas di Baleg dianggap tidak melibatkan partisipasi publik secara cukup. Juga proses legislasi yang tidak transparan atau terlalu cepat dapat mengabaikan masukan dari berbagai stakeholder, seperti pemilih, calon kepala daerah, dan LSM, yang mungkin memiliki pandangan penting mengenai aturan pemilihan," ujar mantan Anggota Baleg DPR itu.
Proses pembahasan RUU Pilkada di Baleg DPR diketahui dilakukan hanya kurang dari 7 jam. Rapat dilaksanakan pada hari Rabu 21 Agustus 2024, tepat pukul 10.00 WIB dan berakhir pada pukul 16.55 WIB dengan keputusan yang tidak sejalan seperti amanat MK.
Adapun MK mengabulkan sebagian gugatan terhadap UU Pilkada dan menyatakan partai atau gabungan partai politik peserta pemilu bisa mengajukan calon kepala daerah meski tidak punya kursi DPRD.
Lewat putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024, MK mengubah aturan pada Pasal 40 UU Pilkada yang mengatur ambang batas pencalonan di Pilkada. MK menyatakan Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada inkonstitusional.
Dengan putusan MK, ambang batas pengajuan paslon yang akan berkontestasi dalam Pilkada serentak berubah dari 20 persen perolehan kursi DPRD atau 25 persen suara sah Pileg menjadi mulai dari 6,5 persen sampai paling tinggi 10 persen yang diklasifikasikan berdasarkan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) masing-masing Provinsi dan Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia.
Tak hanya soal aturan ambang batas pencalonan, MK juga memutuskan gugatan soal syarat usia calon kepala daerah. MK menolak gugatan mengenai pengujian ketentuan persyaratan batas usia minimal calon kepala daerah.
Dari putusan itu, MK menegaskan syarat batas usia paling rendah 30 tahun untuk calon gubernur dan calon wakil gubernur serta 25 tahun untuk calon bupati dan calon wakil bupati serta calon wali kota dan calon wali kota dihitung sejak penetapan yang bersangkutan sebagai calon kepala daerah oleh KPU, bukan saat pelantikan calon terpilih.
Namun Baleg justru menafsirkan hal yang berbeda dari putusan MK itu. Pada RUU Pilkada, Baleg memutuskan ambang batas 6,5 persen sampai paling tinggi 10 persen hanya untuk partai yang tidak memiliki kursi di DPRD.
Baleg juga lebih memilih menggunakan putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengubah syarat usia calon dari sebelumnya dihitung dalam Peraturan KPU (PKPU) saat penetapan pasangan calon, menjadi dihitung saat pelantikan calon terpilih. Putusan Baleg dianggap mencederai demokrasi karena bertentangan dengan konstitusi di mana putusan MK bersifat final dan mengikat.
"Ini (putusan Baleg) merupakan penurunan kualitas demokrasi. Beberapa pihak khawatir bahwa perubahan dalam RUU bisa berdampak negatif pada kualitas demokrasi lokal, dengan membuat pemilihan kurang representatif atau lebih rentan terhadap manipulasi politik," terang Didi.
Baca juga:
Anggota Komisi XI itu pun menilai perubahan yang tiba-tiba dalam aturan pemilihan dapat menyebabkan ketidakpastian hukum dan administrasi. Bila RUU Pilkada jadi disahkan, Didi khawatir akan terjadi berbagai persoalan hukum lainnya di waktu mendatang.
“Bisa mengganggu pelaksanaan pemilihan dan menyebabkan sengketa hukum. Juga dapat dinilai cacat demokrasi," ucap legislator dari Dapil Jawa Barat X tersebut.
Revisi UU Pilkada hasil Baleg kemarin sempat akan dibawa ke Rapat Paripurna untuk disahkan menjadi UU. Namun setelah ada penundaan Rapat Paripurna dan setelah memperhatikan aspirasi masyarakat luas, DPR memutuskan membatalkan melakukan revisi UU Pilkada dan mengikuti putusan MK.
"Demi kepentingan rakyat tidak ada istilah terlambat. DPR telah membatalkan pengesahan RUU Pilkada," kata Didi.