Sejarah Penetapan Tanggal 17 Agustus 1945 sebagai Hari Kemerdekaan Indonesia

JAKARTA - Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berlangsung pada 17 Agustus 1945. Momentum itu jadi hari paling bersejarah bagi segenap rakyat Indonesia. Semuanya karena pejuangan melawan dua penjajah yang berbeda hingga tuntas. Rakyat Indonesia dengan bangga melantangkan kata: merdeka, merdeka.

Mereka tak takut lagi mengibarkan Bendera Merah Putih hingga menyanyikan lagu Indonesia raya. Pertanyaan muncul. Kenapa hari Jum’at, 17 Agustus 1945 yang dipilih sebagai hari kemerdekaan, bukan hari lainnya?

Perjalanan panjang kaum bumiputra untuk merdeka penuh perjuangan. Mereka terus berjibaku melawan penjajah Belanda, kemudian Jepang. Barang siapa yang memilih membela bangsa dan negara, harus rela berkorban segalanya. Mereka berkorban harta, waktu, keluarga, hingga nyawa.

Penjara dan pengasingan dianggapnya sebagai sebuah resiko perjuangan. Titik kemerdekaan Indonesia mulai terlihat kala Jepang berkali-kali menjanjikan Indonesia merdeka. Namun, janji penjajah tak dapat dipercaya.

Peluang kemerdekaan Indonesia justru terlihat kala Jepang mulai kalah dari sekutu. Jepang pun mengaku menyerah tanpa syarat kepada sekutu pada 14 Agustus 1945. Peristiwa besar itu dianggap peluang oleh kaum bumiputra untuk merdeka.

Narasi itu masuk akal. Jepang tak lagi kuat. Armada perangnya sudah lumpuh. Kekosongan pemerintahan di Nusnatara harus segera diisi sebelum pasukan sekutu datang. Pejuang kemerdekaan pun coba berunding.

Bung Karno dan Bung Hatta saat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Jl. Pengangsaan Timur 56 Jakarta pada 17 Agustus 1945. (Frans Mendoer/IPPHOS)

Mereka yang termasuk dalam golongan tua dan muda sama-sama ingin merdeka. Masalahnya mereka punya reaksi berbeda. Golongan muda yang didominasi Wikana, Sayuti Melik, Sukarni ingin kemerdekaan saat itu juga.

Golongan tua macam Soekarno dan Hatta tak ingin terburu. Perdebatan sengit terjadi. Penculikan tokoh golongan tua Bung Karno dan Hatta pun dilakukan ke Rengasdengklok pada 16 Agustus 1945. Setelahnya, perumusan naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia digulirkan.

Fase itu memantapkan kemerdekaan Indonesia jatuh pada 17 Agustus 1945. Segenap tokoh bangsa berkumpul di halaman Pegangsaan Timur 56 pada pukul 10:00 pagi. Mereka lalu jadi saksi Soekarno Hatta mewakili segenap bangsa Indonesia lepas dari belenggu penjajahan. Satu bangsa bak terlahir kembali.

“Pengumuman itu hanyalah suatu upacara. Mereka berkorban, bekerja rela. Sebab, pemuda-pemuda yang mencintai tanah air dan bangsanya itu, selama ini melakukan tugasnya hanya sebagai pengangkat batu untuk membangun sebuah jembatan, jembatan untuk rakyat dan Negara mencapai kemakmuran dan keadilan.”

“Pada tanggal 17 Agustus itu, satu dari banyak tugas pemuda di masa itu telah tunai, selesai. Doa pada Tuhan Yang Maha Esa ketika itu membawa rakyat dan negara sesuai tujuan,” ungkap BM Diah dalam buku Catatan BM Diah (2018).

Pemilihan 17 Agustus 1945

Tanggal 17 Agustus 1945 bak hari sakral dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Namun, tanggal itu dipilih pejuang kemerdekaan bukan cuma karena keburu-buru atau kepepet memerdekaan bangsa Indonesia. Proklamator Indonesia, Bung Karno punya alasannya sendiri.

Bung Karno bahkan telah memikirkan jauh sebelum Jepang menyerah. Ia menegaskan sudah memikirkan tanggal 17 sejak dirinya berada di Saigon. Kala itu Bung Karno, Hatta, Rajiman Wedyodiningrat mewakili anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) berjumpa Panglima Perang Tertinggi Jepang Wilayah Selatan, Jenderal Terauchi Hisaichi di Dalat Vietnam pada awal Agustus.

Pemilihan tanggal itu muncul karena Bung Karno percaya mistik. Ia menerangkan bawah tanggal 17 mampu memberikan harapan baru bagi Indonesia. Ia pun menjelaskan secara rinci. Tanggal 17 Agustus 1945 dianggapnya istimewa karena berada di bulan penuh berkah, Ramadan.

Kondisi itu merupakan saat paling suci untuk merdeka. Tanggal 17 Agustus hari Jum’at pula. Kondisi itu membuat kesuciannya dobel. Kalkulasi angka 17 juga dicocokkan pula dengan hitung-hitungan lainnya. Misalnya rakaat salat dan turunnya Al Quran.

Kondisi itu kemudian membuat Bung Karno dan pejuang lainnya setuju kemerdekaan jatuh pada 17 Agustus 1945. Bukan tanggal 15 Agustus 1945 seperti keinginan golongan muda. Bukan pula kemerdekaan sebagai kado Jepang yang dijanjikan pada 24 Agustus 1945.    

“Hari Jum’at ini Jum’at Legi. Jum’at yang manis. Jum’at yang suci. Dan hari Jum’at tanggal 17. Al Quran diturunkan tanggal 17. Orang Islam melakukan salat 17 rakaat dalam sehari. Mengapa Nabi Muhammad memerintahkan 17 rakaat, bukan 10 atau 20.”

“Karena kesucian angka 17 bukanlah buatan manusia. ketika aku pertama kali mendengar berita penyerahan Jepang, aku berpiir kita harus segera memproklamirkan kemerdekaan. Kemudian aku menyadari, adalah takdir tahun bahwa peristiwa ini akan jatuh di hari keramat-Nya. Proklamasi akan berlangsung tanggal 17. Revolusi akan mengikuti setelah itu,” ungkap Bung Karno ditulis Cindy Adams dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (2014).