Proses Lelang dan Pengecekan Shelter Tsunami Sebelum Diserahkan ke Pemkab Lombok Utara Diusut KPK

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut proses lelang dan pengecekan serah terima shelter tsunami di Nusa Tenggara Barat (NTB). Ada 12 saksi yang diperiksa penyidik pada Selasa, 6 Agustus.

“Pemeriksaan dilakukan di Kantor BPKP Perwakilan Provinsi NTB,” kata Juru Bicara KPK Tessa Mahardika kepada wartawan dalam keterangan tertulisnya, Rabu, 7 Agustus.

Tessa menyebut 12 saksi itu memenuhi panggilan. Mereka dicecar soal lelang dan proses pengecekan sebelum shelter tsunami diserahkan dari Kementerian PU Satuan Kerja (Satker) Penataan Bangunan dan Lingkungan NTB ke Pemkab Lombok Utara.

“Penyidik mendalami proses lelang dan proses pengecekan serah terima shelter tsunami,” ujarnya.

Adapun 12 saksi yang diperiksa adalah Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Pembangunan Shelter NTB, Aprialely Nirmala (AN); Konsultan Manajemen Konstruksi, Djoni Ismanto (DI), Widya Pranoto (WP), dan Sukismoyo (SKM).

Kemudian turut diperiksa juga Djumali (DJM) yang merupakan Ketua Pokja; Andria Hidayati (AH) selaku Sekretaris Pokja; dua anggota Pokja, yakni Irham (IRH) dan Isnaedi Jamhari (IJ) sekaligus Sekretaris PPHP; Ketua PPHP, Yayan Supriyatna (YS); serta Suharto (SHT), Muhammad Sahabudin (MS), dan Kusmalahadi Syamsuri (KS) yang merupakan Anggota PPHP.

Diberitakan sebelumnya, KPK sedang mengusut dugaan korupsi pembangunan tempat evakuasi sementara (TES) atau shelter tsunami di NTB. Ada dua orang yang sudah ditetapkan sebagai tersangka, rinciannya seorang merupakan penyelenggara negara dan lainnya berasal dari BUMN.

Disebutkan pembangunan dilaksanakan Satuan Kerja Penataan Bangunan dan Lingkungan, Kegiatan Pelaksanaan Penataan Bangunan dan Lingkungan (PBL) Provinsi Nusa Tenggara Barat Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat pada 2014. Penyidikan dugaan korupsi ini dilaksanakan sejak 2023.

Anggaran pembangunan shelter yang ujungnya dikorupsi ini berasal dari Kementerian PUPR. Modus yang diduga terjadi adalah menurunkan kualitas pembangunan.

Akibatnya, shelter atau tempat sementara yang dibangun keburu rusak. Padahal bangunan ini dibutuhkan untuk masyarakat ketika terjadi bencana tsunami.