Bagikan:

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut proses penyerahan shelter tsunami di Nusa Tenggara Barat (NTB) yang pembangunannya dikorupsi ke pihak Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Lombok utara.

Upaya ini dilakukan dengan memeriksa eks Kepala Kantor BPBD Lombok Utara R. Tresnawadi dan saksi lainnya pada hari ini.

“Pihak BPBD didalami terkait dengan serah terima bangunan,” kata Juru Bicara KPK Tessa Mahardika kepada wartawan dalam keterangan tertulisnya, Rabu, 7 Agustus.

Selain itu, ada juga pihak swasta yang diperiksa dalam kasus ini. Tessa menyebut mereka didalami soal keikutsertaan saat lelang proyek dilaksanakan.

Adapun dari informasi yang dihimpun, pihak BPBD yang diperiksa selain Tresnawadi adalah staf BPBD Provinsi NTB Darwis. Kemudian turut diperiksa Kepala BPKAD Kabupaten Lombok Utara tahun 2014-2015 Kholidi Holil dan Kepala Dinas PU Provinsi NTB yang juga eks Kabid Cipta Karya Dinas PU Provinsi NTB Sadimin.

Sementara pihak swasta yang diperiksa adalah Direktur Utama PT Utama Beton Perkasa, Roby dan Muhammad Taufik selaku perwakilan PT Indra Agung.

Sebenarnya ada saksi lainnya yang turut diperiksa tapi mereka mangkir. Keduanya adalah Kepala BPBD Lombok Utara periode 2018 Iwan Maret Asmara dan Robinzadhi yang merupakan Direktur PT Barokah Karya Mataram.

Diberitakan sebelumnya, KPK sedang mengusut dugaan korupsi pembangunan tempat evakuasi sementara (TES) atau shelter tsunami di NTB. Ada dua orang yang sudah ditetapkan sebagai tersangka, rinciannya seorang merupakan penyelenggara negara dan lainnya berasal dari BUMN.

Disebutkan pembangunan dilaksanakan Satuan Kerja Penataan Bangunan dan Lingkungan, Kegiatan Pelaksanaan Penataan Bangunan dan Lingkungan (PBL) Provinsi Nusa Tenggara Barat Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat pada 2014. Penyidikan dugaan korupsi ini dilaksanakan sejak 2023.

Anggaran pembangunan shelter yang ujungnya dikorupsi ini berasal dari Kementerian PUPR. Modus yang diduga terjadi adalah menurunkan kualitas pembangunan.

Adapun proyek tersebut memakan anggaran hingga Rp20 miliar. Sementara untuk kerugian negaranya kurang lebih Rp19 miliar dan masih bisa bertambah karena penghitungan masih dilakukan.