Mengenal Post-Abortion Syndrome, Tekanan Berat setelah Perempuan Mengakiri Kehamilan
JAKARTA – Praktik aborsi atau mengakhiri kehamilan secara tidak hanya berisiko terhadap kesehatan fisik, tapi ada dampak kesehatan mental yang menghantui, terlepas dari apa pun yang melatarbelakangi keputusan ini. Perasaan sedih, rasa bersalah, hingga depresi bisa dialami mereka yang melakukan aborsi.
Publik kembali membahas mengenai praktik menghentikan kehamilan setelah pemerintah melegalkan praktik aborsi bersyarat yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang ditandatangani Presiden Joko Widodo.
Syarat yang ada dalam PP tersebut adalah indikasi kedaruratan medis dan bagi korban tindak pidaka perkosaan atau kekerasan seksual lain yang dapat menyebabkan kehamilan.
Mengakhiri kehamilan dengan cara aborsi bisa menjadi peristiwa yang penuh tekanan bagi sebagian orang. Itulah sebabnya, perempuan yang melakukan aborsi dapat mengalami respons psikologis dan emosional.
Mengganggu Siklus Hormon Perempuan
Melansir Healthline, sampai sekarang banyak perdebatan mengenai apakah ada hubungan antara aborsi dan gejala emosional. Beberapa ahli berpendapat bahwa aborsi adalah pengalaman traumatis yang dapat mengakibatkan post-abortion syndrome (PAS) atau sindrom pascaaborsi, mengacu pada tekanan berat yang berdampak jangka panjang pada kesehatan mental.
Dampak psikologis aborsi tidak selalu terjadi setelah seseorang melakukannya. Karena pada beberapa perempuan, kemungkinan ada perasaan lega telah membuat pilihan yang tepat untuk mereka atau kondisi saat itu.
Selain itu, perasaan setelah aborsi juga bisa berkaitan dengan value dari orang yang bersangkutan. Seseorang yang cenderung menoleransi atau telah mempertimbangkan matang aborsi, pengaruhnya akan berbeda dengan orang yang memegang value menentang aborsi.
Rachel Gabrielle, konselor kesehatan mental berlisensi dan spesialis kesehatan mental wanita yang berpraktik di Seattle, mengatakan menghentikan kehamilan karena alasan apa pun dapat mengganggu siklus hormon perempuan, sehingga kemungkinan besar menyebabkan perasaan negatif.
Ada kemungkinan seseorang merasa sangat terdampak sekaligus lega di saat yang bersamaan.
“Seluruh spektrum perasaan, mulai dari kelegaan hingga stress traumatis, adalah hal yang normal,” ucap Gabrielle.
Dampak Luar Biasa
Sementara itu, psikolog klinis dan forensik Kasandra Putranto menuturkan bahwa pengalaman melahirkan, baik secara spontan, keguguran, dengan tindakan caesar mengandung dampak fisik, mental dan sosial yang luar biasa.
Dampak tersebut semakin besar ketika terjadi pengalaman melahirkan secara paksa melalui aborsi, karena dapat menimbulkan perasaan bersalah, stres, cemas, dan kesedihan mendalam pada individu, karena melibatkan berbagai konflik batin yang dialami.
Meski sebagian perempuan dapat merasa lega setelah menjalani aborsi, sebagian lainnya dapat merasakan beban emosional yang mendalam.
“Batasan hukum, norma sosial, agama, dan nilai keluarga yang melarang aborsi menjadi faktor yang semakin menambah tekanan dan konflik dalam diri perempuan yang mengalami aborsi,” kata Kasandra kepada VOI.
“Berbagai situasi dan kondisi yang menyertai aborsi dapat mengakibatkan trauma psikologis, depresi, dan masalah emosi lainnya, di samping dampak fisik, psikologis, dan sosial,” imbuhnya.
Itulah sebabnya, dukungan moral dan bimbingan sangat penting bagi mereka dalam menghadapi situasi ini, karena pikiran buruk dan depresi bisa berujung pada hal yang tidak diinginkan seperti bunuh diri.
Trauma Dua Kali Lipat
Keputusan menghentikan kehamilan karena alasan medis hampir pasti memberikan dampak terhadap psikologis perempuan, apalagi mereka yang melakukan aborsi karena korban perkosaan.
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan mencatat terdapat 103 korban perkosaan berakibat kehamilan yang melaporkan kasusnya langsung ke Komnas Perempuan sejak 2018 hingga 2023.
Menurut Kasandra, dampak psikologis pasca-aborsi yang dialami korban perkosaan lebih berat dibandingkan aborsi karena indikasi medis. Ini terjadi karena korban perkosaan sudah mengalami trauma yang mendalam bahkan sebelum keputusan aborsi.
Penambahan keputusan untuk melakukan aborsi hanya akan memperburuk perasaan tersebut, menambah beban emosional dan psikologis yang harus ditanggung.
Baca juga:
- Melegalkan Aborsi demi Memperkuat Perlindungan Hukum terhadap Korban Perkosaan
- Catatan Olimpiade Paris 2024: Psikologi Olahraga Penting untuk Raihan Prestasi di Kompetisi Tingkat Tertinggi
- Setelah Ismail Haniyeh Tewas: Hamas Tak Kesulitan Cari Pengganti, Perang Pun Bakal Abadi
- Vonis Bebas Ronald Tannur Menambah Rekam Jejak Tumpulnya Keadilan pada Perempuan Korban Kekerasan
“Korban perkosaan mungkin merasa bersalah atau tertekan oleh stigma sosial. Proses aborsi bisa menjadi pengalaman yang memperburuk perasaan tersebut, membuat mereka merasa lebih tertekan atau terasing,” ucap Kasandra.
Proses pemulihan setelah perkosaan dan aborsi memerlukan waktu. Jika korban perkosaan harus menghadapi keputusan untuk melakukan aborsi, pemulihan emosional bisa menjadi lebih kompleks dan memerlukan dukungan yang lebih besar.
Dukungan dari keluarga dan teman-teman terdekat sangat penting dalam mengatasi dampak psikologis karena pemulihan emosional mereka bisa menjadi lebih kompleks.
Proses pemulihan pascaaborsi bagi korban perkosaan akan terpengaruh jika mereka menghadapi kesulitan dalam mendapatkan dukungan yang memadai.
Tahapan Pemulihan Berbeda
Menghadapi trauma setelah aborsi adalah tantangan besar bagi banyak perempuan yang mengalami aborsi. Meski demikian, perempuan dapat meminimalisir trauma tersebut dengan melakukan beberapa langkah.
Membagikan perasaan dengan orang terdekat, dikatakan Kasandra Putranto, dapat membantu mengurangi beban emosional. Selain itu, perempuan juga perlu untuk mengenali dan memahami reaksi emosional yang muncul setelah aborsi.
“Setiap perempuan akan melalui tahapan yang berbeda dalam memulihkan emosi, dan semakin cepat menerima kenyataan, semakin cepat pula proses pemulihan,” katanya.
Pendampingan ahli, baik psikolog atau psikiater sangat penting, terutama untuk mengatasi trauma akibat kekerasan yang menjadi latar belakang aborsi. Namun yang tak kalah penting, perempuan juga harus menjaga asupan makanan dan tetap melakukan aktivitas yang bermakna dan menyenangkan.
“Memberikan waktu berduka adalah bagian dari proses pemulihan. Hindari menekan perasaan duka, tetapi biarkan diri Anda merasakan dan mengatasinya secara perlahan,” pungkas Kasandra.