Melihat Eksistensi Lagu Anak Sebagai Bagian Kultur Pop Indonesia
JAKARTA - Kebudayaan Indonesia punya cerita panjang dengan lagu anak, mulai dari musik rakyat yang diturunkan turun-temurun secara oral hingga industri pop anak yang mulai terbentuk pada tahun 29170an.
Pada era awal industri pop anak, muncul penyanyi anak seperti Adi Bing Slamet, Chicha Koeswoyo, Yoan Tanamal, dan juga band atau penyanyi yang merilis lagu anak. Ceruk industri yang besar membuat kancah lagu anak jadi salah satu bisnis yang cukup menjanjikan.
Melompat ke tahun 1990an hingga awal 2000an, penyanyi anak yang ikonik bermunculan, seperti Joshua, Tasya, Sherina, Chikita Meidy, Trio Kwek Kwek, dan masih banyak nama lain.
Saat ini, lagu anak tidak sepenuhnya menghilang. Masih ada beberapa pihak yang masih memperjuangkannya. Menurut catatan Anugerah Musik Indonesia (AMI), jumlah lagu anak yang didaftarkan untuk AMI Awards dalam dua tahun terakhir mencapai 184 lagu (tahun 2023), dan 168 lagu (tahun 2024).
Mengangkat kembali semarak lagu anak tentu bukan pekerjaan mudah. Diperlukan peran kolektif untuk membuat lagu anak Indonesia kembali berjaya.
Sayangnya, tidak semua pihak terkait punya kemauan untuk itu. Sesekali, upaya ini datang dari para musisi yang prihatin, sebut saja Titiek Puspa yang menggagas grup anak Duta Cinta, atau Erwin Gutawa yang pernah menggarap kolektif Di Atas Rata-Rata.
Upaya-upaya tersebut mendapat banyak tantangan soal keberlanjutannya. Sering kali, niatan menggelorakan lagu anak tak bersambut popularitas dan sukses komersial. Dengan kata lain, ini adalah jalan sunyi industri musik.
Pengamat musik David Tarigan berpendapat bahwa popularitas lagu anak sangat tergantung dari hook lagu, dan kemudian bagaimana membuat lagu itu dapat dijangkau anak-anak secara luas melalui mekanisme distribusi dan strategi pemasaran musik.
“Ada persoalan soal distribusi, ada persoalan yang esensial yang memang teknis seperti hook-hook lagu anak, karena lagu anak sangat penting hook dari lagunya. Kalau ingin membuat lagu anak, sekali lagi, penting membuat hook yang nyangkut di kepala anak. Hal yang mudah diingat,” kata David Tarigan.
“Jika memang sudah sesuai dan ada eksposur, bisa saja jadi populer. Tetapi, dalam masa sekarang apakah mungkin pebisnis atau pengusaha mengeluarkan modal atau investasi untuk lagu anak?”
Untuk memantik kembali popularitas dan tren lagu anak, kata David, dalam industri musik secara umum diperlukan semangat kolektif dari berbagai pihak, termasuk musisi-musisi dewasa yang punya inisiatif merilis lagu anak.
“Untuk membuat industri lagu anak semarak lagi, tidak bisa datang dari satu pihak saja, kalau ada inisiatif yang kolektif, ramai-ramai kembali meramaikan lagu anak dengan disadari secara sengaja atau tidak. Itu mungkin menarik,” kata David.
Baca juga:
Upaya kolektif membangkitkan kembali semarak lagu anak memang jadi tanggung jawab bersama, meski kita tidak bisa memaksa para pelaku industri dan musisi-musisi yang telah mapan untuk turut ambil peran urusan ini. Tetapi selalu ada musisi yang melihat persoalan ini sebagai tanggung jawab moral, di samping tujuan komersial.
Beberapa dari mereka yang turut serta meramaikan lagu anak antara lain Naif yang merilis album Bonbinben (2008), dan secara terpisah dalam momen-momen waktu berbeda lahir lagu anak dari grup musik Mocca, dan bahkan muncul gerakan “Save Lagu Anak” pada 2016 yang terdiri dari para mantan penyanyi cilik. Terbaru, RAN juga menunjukkan kepeduliannya terhadap ranah ini.
RAN akan merilis album anak berjudul RAN For Your Kids pada 23 Juli 2024. Album berisi delapan track ini terdiri dari empat lagu dan empat track voice over dari Kak Seto. Lagu ikonik “Macet Lagi” yang identik dengan karakter Si Komo pun turut dihidupkan kembali dengan konteks yang lebih relevan.