Keretakan Relasi Bongbong - Duterte Bukan Mustahil Menular ke Jokowi - Prabowo
JAKARTA – Keretakan relasi antara dua klan politik paling berkuasa di Filipina saat ini, Marcos dan Duterte sempat menjadi topik hangat. Sejak Januari lalu, Presiden Ferdinand Marcos Jr atau yang akrab disapa Bongbong mulai diserang oleh pendahulunya, mantan Presiden Rodrigo Duterte lewat berbagai pernyataan yang kontroversial.
Satu di antara pernyataan kontroversial Duterte soal Bongbong adalah, yang menyebutkan bahwa anak mantan diktator Filipina, Ferdinand Marcos Sr, itu pencandu narkoba. Duterte juga bergabung dalam acara “doa bersama”, yang isinya menentang rencana Bongbong untuk mengubah amandemen.
Amandemen konstitusi Filipina terakhir dilakukan pada 1987, atau setelah ayah Bongbong terguling dari tahtanya pada 1986. Sejak itu belum pernah ada rencana amandemen lagi, sampai muncul keinginan dari Bongbong.
Bongbong berasalan bahwa amandemen konstitusi diperlukan untuk lebih mengakomodasi investasi asing, demi menggenjot perekonomian Filipina.
“Konstitusi Filipina saat ini tidak dirancang untuk dunia global,” kata Bongbong beralasan, dalam siaran di GMA News.
Duterte muncul sebagai salah satu penentang paling vokal. Dia berpendapat, bahwa amandemen tersebut hanya akan menguntungkan pemimpin saat ini. Jika amandemen disetujui DPR Filipina yang diketuai sepupu Bongbong, Martin Romualdez, Duterte terancam bakal dikenai sanksi pelanggaran berat HAM akibat kebijakannya menghabisi para bandar narkoba saat dia berkuasa. Mahkamah Internasional dapat masuk Filipina untuk menginvestigasi Duterte.
Menurut pengamat geopolitik dari University of The Philippines Asian Center, Richard Heydarian yang dikutip Time, perubahan amandemen yang digagas Bongbong dapat menjadi Kuda Troya demi mencapai ambisi politik yang lebih luas. Jauh lebih luas dari sekedar alasan “demi akselerasi ekonomi Filipina”.
Lantas bagaimana korelasi keretakan hubungan Marcos Jr-Duterte dengan keniscayaan hal itu juga dapat terjadi pada Jokowi-Prabowo Subianto?
Sekutu Utama
Posisi Duterte terhadap Bongbong dalam Pilpres Filipina 2022 sama persis dengan Jokowi terhadap Prabowo di Pilpres 2024. Sebagai petahana, Duterte dan Jokowi memberi dukungan penuh terhadap presiden terpilih untuk memenangi pemilihan.
Duterte dan Jokowi punya keinginan yang sama, yaitu memperpanjang masa jabatan melebihi ketentuan yang diamanatkan konstitusi. Keinginan tersebut kandas karena tak mendapatkan dukungan politik. Namun keduanya punya cara lain, yaitu dengan “menitipkan” anak-anak mereka dengan menjadi wakil dari kandidat presiden yang terkuat.
Putri Duterte, Sarah Duterte saat ini menjadi Wakil Presiden Filipina. Di Indonesia, Gibran Rakabuming Raka juga bakal resmi menjadi Wakil Presiden RI saat dilantik bersama Presiden RI terpilih, Prabowo Subianto pada 20 Oktober mendatang.
Secara teori, Duterte dan Jokowi nantinya dapat mempertahankan arah kebijakan melalui presiden yang baru. Filipina di bawah Bongbong, sementara Indonesia dengan Prabowo. Gibran, seperti halnya Sarah Duterte, menjadi simbol rasa saling percaya antara Jokowi dan Prabowo untuk lima tahun ke depan.
Namun perselisihan antara Bongbong Marcos dan Duterte ternyata terjadi. Bahkan hanya dalam kurun waktu belum genap dua tahun sejak Bongbong terpilih pada 2022. Kemungkinan inilah yang harus diwaspadai dapat terjadi di Indonesia.
Peran Egosentris Politik
Fenomena yang terjadi di Filipina seharusnya menjadi pelajaran bagi Indonesia, khususnya masa depan aliansi Jokowi-Prabowo.
“Pelajaran pertama adalah, kepribadian berperan besar dalam mempertahankan stabilitas kemitraan politik. Terlepas dari pembicaraan khusus sebelum pemilu, pengaturan pembagian kekuasaan antardinasti politik dapat dengan cepat berubah karena egosentrisme politik,” tulis Wasisto Raharjo Jati, peneliti BRIN dalam artikelnya di laman Indonesia at Melbourne milik The University of Melbourne, Australia.
Salah satu tanda potensi keretakan yang layak dicermati adalah tidak ada pernyataan soal IKN Nusantara dalam artikel opini yang ditulis Prabowo di Majalah Newsweek, sebagai kebijakan prioritasnya setelah resmi menjadi Presiden RI. Dalam artikel di terbitan 12 Juni 2024 dengan judul The Road Ahead for Indonesia-One of the Fastest Growing Economies in Asia itu Prabowo menuliskan soal kebijakan prioritasnya, namun dia tidak menyinggung soal IKN dalam program yang dia tuliskan.
“Kenapa enggak dibahas lebih lanjut di artikel yang cuma tempatnya juga enggak banyak? IKN itu ada di undang-undang,” ujar Sufmi Dasco Ahmad, Ketua Harian DPP Partai Gerindra memberi alasan soal tulisan boss-nya tersebut seperti dikutip Tempo.
Dalam kampanye Pilpres, Prabowo jelas menyebutkan bakal melanjutkan program IKN. Dia menamai koalisinya Indonesia Maju, yang jelas-jelas copy paste dari visi Jokowi. Prabowo berkampanye untuk melanjutkan program status quo.
Namun sebagai Presiden RI nantinya, Prabowo pasti punya program tersendiri. Bukan tidak mungkin, program yang bakal dia usung merupakan proritas yang sesungguhnya.
Jokowi sudah menyiapkan langkah dengan membentuk Dewan Kawasan Aglomerasi untuk pengelolaan Jakarta, yang dipimpin Wakil Presiden RI. Tujuan pembentukan badan baru ini sudah jelas demi memperkuat posisi wakil presiden, yang tak lain adalah anaknya, Gibran. Jika aturan baru ini diutak-atik oleh Prabowo nantinya setelah resmi menjabat, tentu saja friksi dengan Jokowi akan terjadi.
Baca juga:
- Pengaktifan Kembali DPA Menunjukkan Indonesia Negara yang Tidak Sehat
- Andai Lima Kader NU Itu Tidak Tersenyum Saat Berfoto Bareng Presiden Israel, Isaac Herzog
- Andai Lima Kader NU Itu Tidak Tersenyum Saat Berfoto Bareng Presiden Israel, Isaac Herzog
- Nelangsa Guru Honorer, Gaji Kecil dan Ancaman PHK Besar-Besaran
Kebijakan geopolitik Jokowi yang mengutamakan China, bukan tidak mungkin berubah setelah Prabowo berkuasa. Mantan Komandan Kopassus tersebut dikenal punya hubungan dekat dengan Barat, khususnya Amerika Serikat.
Hingga saat ini, hubungan Jokowi-Prabowo masih baik-baik saja. Mari kita ikuti, bila hubungan itu bakal lama bertahan setelah Prabowo resmi dilantik pada 20 Oktober mendatang.