Pengaktifan Kembali DPA Menunjukkan Indonesia Negara yang Tidak Sehat
JAKARTA – Sejumlah pengamat mempertanyakan urgensi Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merevisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) sehingga kembali menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Benarkah ini sebagai upaya “bagi-bagi kue” menjelang pelantikan presiden anyar pada Oktober mendatang.
Revisi UU Wantimpres yang diusulkan DPR disebut sebagai hasil kesepakatan seluruh fraksi di Badan Legislasi (Baleg) DPR. Publik bertanya-tanya mengapa revisi RUU Wantimpres menjadi DPA diusulkan dalam waktu yang relatif singkat dan menjelang berakhirnya jabatan para penggawa di Senayan.
Pengamat hukum tata negara Bivitri Susanti menduga ada upaya bagi-bagi jatah kekuasaan atau proyek ucapan terima kasih.
“Saya melihat niatnya hanya ingin membagi-bagi kue kekuasaan saja,” kata Bivitri, mengutip Kompas.
Pernah Hidup di Orde Baru
Dewan Pertimbangan Agung (DPA) adalah nama yang digunakan untuk Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) sebelum amandemen UUD 1945. Nomenklatur DPA digunakan pada masa Orde Baru, dan dibentuk berdasarkan Pasal 16 UUD 1945 yang menyatakan kewajiban mereka adalah memberi nasihat dan pertimbangan kepada presiden dalam menjalankan pemerintahan negara.
Namun DPA kemudian dihapus lewat Kepres nomor 135/M/2003 pada 31 Juli 2003 karena dianggap tidak efisien dan tugasnya tumpang tindih dengan lembaga lain.
Setelah amandemen keempat UUD 1945, keberadaan DPA diganti menjadi dewan yang ditempatkan dalam satu Bab III Kekuasaan Pemerintahan Negara. Melalui perubahan ini, ditunjukkan bahwa posisi suatu dewan yang bertugas memberi nasihat dan pertimbangan kepada presiden tetap diperlakukan.
Kemudian lahirlah UU Nomor 19 Tahun 2006 yang menjadi dasar keberadaan dewan pertimbangan, yang kini disebut Wantimpres. Wantimpres dibentuk pertama kali oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Terdapat sejumlah upaya perubahan peraturan dalam UU Wantimpres yang masih berlaku melalui RUU Wantimpres.
Pertama terkait jumlah anggota DPA. Pada pasal 7 ayat 1 draf RUU Wantimpres, presiden bebas menentukan jumlah anggota DPA. Sebelumnya, Wantimpres hanya berisi sembilan orang.
Kedua soal posisi DPA yang akan menjadi lembaga yang kedudukannya sejajar dengan lembaga negara lain. Selain itu dalam RUU Wantimpres juga menyebut tidak ada keharusan bagi anggota DPA memiliki keahlian tertentu di bidang pemerintahan, serta pimpinan parpol sampai ormas pun bisa menjadi DPA.
Banyak Lembaga Disfungsi
Ketika publik skeptis atas keputusan DPR melahirkan RUU hanya dalam waktu singkat, peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof Dr Siti Zuhro mengatakan sangat mungkin hal itu terjadi.
Hanya saja, ia mempertanyakan urgensi mengubah nomenklatur Wantimpres menjadi DPA. Menurut Zuhro, selama ini terdapat sejumlah lembaga yang lahir sejak era reformasi mengalami disfungsi.
“Coba evaluasi lagi, di era reformasi menghasilkan banyak lembaga yang mengalami disfungsi, banyak sekali lembaga yang diciptakan tapi disfungsi,” kata Zuhro, mengutip Kompas.
“Disfungsi ini menandai bahwa Indonesia negara yang tidak sehat. Kalau disfungsinya permanen akan membawa kita menuju failing state atau negara yang gagal,” lanjutnya.
Dengan begitu, Zuhro mengatakan tidak relevan bagi Baleg DPR menghidupkan kembali DPA, menggantikan Wantimpres.
“Apa signifikansinya, apa relevansinya, apa urgensinya untuk melakukan sejumlah revisi undang-undan di pengujung pemerintahan Jokowi. Ini harus kita pertanyakan,” ucap Zuhro.
Senada, pakar hukum administrasi negara Dian Puji Simatupang juga menuturkan, Wantimpres tidak memiliki fungsi. Ini karena yang masuk dalam Wantimpres biasanya mantan menteri, pensiunan pejabat negara, atau orang-orang yang taat dengan presiden.
Itu sebabnya, ia menyangsikan Wantimpres atau DPA memberikan nasihat maupun pertimbangan yang berseberangan dengan presiden.
“Kalau anggota Wantimpres cuma mengakomodir mantan bawahan presiden atau jadi tempat penampungan pensiunan, bagaimana mau nasihatin bosnya?” katanya.
Kelanjutan Presidential Club
Dugaan terkait upaya bagi-bagi kekuasaan mencuat setelah revisi UU Wantimpres dibahas dalam waktu singkat oleh Baleg DPR hingga diputuskan akan dibawa ke paripurna dan menjadi inisiatif perlamen.
Presiden Joko Widodo juga disebut-sebut bakal menjadi anggota DPA ketika presiden terpilih Prabowo Subianto menggantikan posisinya mulai Oktober nanti.
Pengamat politik dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno, mengingatkan agar putusan ini tidak sekadar untuk bagi-bagi kue kekuasaan.
“Jangan sampai ada kesan bahwa DPA ini justru ingin mengakomodir kelompok politik yang jauh lebih besar. Kan itu mestinya harus dihindari,” tutur Adi.
Ia juga menduga, wacana menghidupkan kembali DPA merupakan kelanjutan ide presidential club yang ingin mengakomodasi para mantan presiden. Presidential club diharapkan memberi kontribusi pemikiran sampai gagasan untuk pemerintahan Prabowo Subianto - Gibran Rakabuming Raka.
"Wajar kalau publik melihat sebenarnya belakangan ini perubahan Wantimpres ke DPA ini bagian dari untuk memperbesar koalisi dengan cara merangkum pikiran-pikiran yang dinilai kontributif untuk pemerintahan yang akan datang, tetapi itu tadi kesan bagi-bagi kekuasaan itu harus bisa diminimalisir dan bahkan dihilangkan," ujar Adi.
Baca juga: