Survei Kepercayaan Publik Terhadap Polri Menjadi Anomali di Tengah Kasus Salah Tangkap Pegi Setiawan
JAKARTA – Hasil survei Litbang Kompas yang menyebut tingkat kepercayaan publik terhadap Polri naik ternodai dengan kasus pembunuhan Vina Cirebon. Penetapan tersangka dan penangkapan Pegi Setiawan oleh Polda Jabar dinyatakan tidak sah dan batal secara hukum.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengingatkan bahwa kepercayaan publik menjadi modal utama pelaksanaan tugas Polri. Berdasarkan survei Litbang Kompas pada 18-20 Juni 2024 menunjukkan kepercayaan publik terhadap Polri sebesar 73,1 persen.
Oleh karena itu, Sigit meminta jajarannya agar mengoptimalkan tugas Polri.
“Terus tingkatkan prestasi dan semangat pengabdian untuk mewujudkan Polri presisi,” ujar Sigit.
Namun di saat bersamaan, kinerja Polri juga menjadi sorotan masyarakat. Kemenangan kubu Pegi Setiawan dalam sidang praperadilan menjadi penyebabnya.
Catatan Buruk Pihak Kepolisian
Praperadilan yang diajukan kuasa hukum Pegi Setiawan ke Pengadilan Negeri Bandung (PN) Bandung dikabulkan sekaligus menggugurkan status tersangkanya dalam kasus pembunuhan Vina Dewi Arsita dan Muhammad Rizky Rudiana alias Eki di Cirebon pada 2016.
Pegi sebelumnya dijadikan tersangka oleh Polda Jabar pada 21 Mei 2024, setelah kasus pembunuhan Vina Cirebon diangkat ke layar lebar dengan judul Vina: Sebelum 7 Hari.
Namun penangkapan Pegi dianggap janggal oleh sejumlah pihak. Mulai dari jumlah DPO yang awalnya tiga menjadi satu, sampai proses penangkapannya yang tidak sesuai prosedur.
Di tengah proses penyidikan, Pegi melalui tim pengacaranya mengajukan praperadilan ke PN Bandung pada 11 Juni 2024.
Satu bulan berselang, putusan PN Bandung yang dibacakan Hakim Tunggal Eman Sulaeman pada Senin (8/7/2024) malam membuat publik kembali menyoroti kinerja Polri, khususnya Polda Jabar.
Pakar hukum pidana Masykur Isnan mengatakan, kebebasan Pegi menjadi catatan buruk bagi pihak kepolisian. Padahal belum lama ini Polri mendapatkan nilai positif terkait kepuasan publik menurut survei Litbang Kompas.
“Ini menjadi kabar baik bagi Pegi dan keluarga untuk memastikan kemerdekaan dan kebebasannya kembali didapat atas proses penegakan hukum yang bermasalah,” kata Masykur Isnan kepada VOI.
“Di sisi lain, ini menjadi catatan buruk bagi pihak kepolisian yang terbukti abai dalam menjalankan tugas dan kewenangannya menegakkan hukum dan mengayomi masyarakat,” imbuhnya.
Masykur Isnan mendorong adanya perubahan sistemik dan pendekatan sanksi terhadap anggota Polri yang tidak profesional dalam kasus ini. Hal ini perlu dilakukan guna mengembalikan kepercayaan masyarakat.
“Dalam HUT Polri disampaikan hasil data kepercayaan publik yang mengalami peningkatan terhadap Polri, case Pegi menjadi seperti anomalinya,” tegas pemilik Masykur Isnan & Partners Lawfirm ini.
Baca juga:
- Apa Iya, Mengimpor Dokter Asing Bikin Kualitas Pelayanan Kesehatan Masyarakat Indonesia Meningkat?
- Kasus Pembunuhan Vina Kapan Tuntas usai Pegi Setiawan Bebas?
- Harga Minyak Goreng Rakyat dan Kebutuhan Pokok Naik Terus, Kelompok Kelas Menengah Bakal Makin Boncos
- Berkaca dari Kematian Zhang Zhijie, Nyawa Manusia Jauh Lebih Penting Ketimbang Aturan
Sementara itu, Direktur Lembaga Kajian Strategis Kepolisian Indonesia (Lemkapi) Edi Hasibuan mengatakan, putusan hakim praperadilan PN Bandung harus menjadi pembelajaran dan introspeksi jajaran Polri.
“Kita minta putusan ini jadi bahan pembelajaran. Polri jangan berkecil hati. Kita ambil hikmahnya agar Polri lebih hati-hati dan profesional di masa mendatang,” katanya dalam keterangannya.
Ia juga menegaskan, penetapan tersangka dalam kasus apa pun harus bisa dibuktikan secara hukum dan semua prosedur hukum dalam pelaksanaannya harus sesuai aturan termasuk berpedoman pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Peraturan Kapolri yang mengatur tentang managemen penyidikan.
"Harus diingat bahwa setiap tindakan Kepolisian tidak boleh salah, karena jika salah tentu berdampak terhadap masyarakat. Masyarakat akan merasa dirugikan," kata Edi.
Penyelesaian Kekeluargaan
Dihubungi terpisah, psikolog forensik Reza Indragiri Amriel mengatakan korban salah tangkap seperti yang dialami Pegi Setiawan biasanya mendapat ganti rugi.
"Korban salah tangkap mendapat ganti rugi. Demikian praktik di banyak negara,” kata Reza.
Hal yang sama juga diungkapkan Masykur Isnan, yang menilai Pegi dapat mengajukan ganti rugi atas kesalahan Polda Jabar. Ia menyebut hal tersebut diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
“Dalam konteks KUHAP, Pegi wajib dibebaskan dan selanjutnya dimungkinkan mendapatkan ganti rugi dan atau rehabilitasi,” ujar Isnan menuturkan.
Dalam Pasal 1 Ayat 23 KUHAP mengatur ganti rugi yang merupakan hak seseorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan UU.
Namun menurut Reza Indragiri Amriel, alih-alih memberikan ganti rugi, institusi kepolisian biasanya melakukan penyelesaian secara kekeluargaan dengan memberi kompensasi.
"Ketimbang melalui mekanisme hukum yang bersifat memaksa bahkan mempermalukan, institusi kepolisian biasanya memilih penyelesaian secara kekeluargaan guna memberikan kompensasi itu,” ujarnya.
Dalam gugatan praperadilan Pegi Setiawan diketahui tidak mencantumkan petitum mengenai ganti kerugian tersebut. Melainkan hanya menyebut soal biaya perkara yang diminta dibebankan kepada termohon yakni Polda Jabar.
Kemudian, meminta agar kedudukan dan harkat, serta martabat Pegi Setiawan selaku pemohon dikembalikan. Oleh karenanya, dalam putusannya, hakim Eman Sulaeman juga tidak mencantumkan perihal ganti rugi tersebut.