Catatan Kasus dari Lima Ketua KPU RI

JAKARTA - Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) akhirnya memecat Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) masa bakti 2022–2027, Hasyim Asy'ari, Rabu (3/7/2024). Putusan itu dibacakan Majelis DKPP saat menggelar sidang pelanggaran etika. Sebelumnya pengaduan itu dilayangkan seorang perempuan anggota Panitia Penyelenggara Pemilu Luar Negeri (PPLN) wilayah Den Haag, Belanda berinisian CAT, atas tindakan pelecehan seksual yang dilakukan Ketua KPU itu.

Hasyim yang diketahui telah berulang kali dikenai sanksi oleh DKPP karena sejumlah pelanggaran berat. Kali ini tak bisa mengelak karena diputuskan langsung dicopot dari jabatannya. Kali ini dosen Hukum Tata Negara di Universitas Diponegoro (Undip) Semarang yang juga dosen Program Doktor Ilmu Kepolisian, Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK) dan Lembaga Pendidikan dan Latihan Kepolisian Republik Indonesia (Lemdiklat Polri), harus berhenti akibat perbuatan.

Hasyim tercatat lima kali dikenakan sanksi atas pengaduan berbagai pihak. Pelanggaran pertama, ia diadukan oleh calon anggota KPU Kabupaten Nias Utara, Linda karena mengganti mendadak pencalonannya sebagai ketua KPU Nias Utara hingga dia batal di lantik. Pemeriksaan DKPP, Hasyim terbukti melanggar Pasal 44 Ayat 1 Peraturan KPU dan Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik. Hingga DKPP menjatuhkan sanksi berupa peringatan kepada Hasyim.

Pelanggaran kedua, ia terbukti keliru dalam perhitungan kuota minimal 30 persen perempuan calon anggota DPR/DPRD. Akibat kesalahan KPU menghitung kuota minimal 30 persen, Mahkamah Agung memutuskan KPU telah melanggar UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Atas kesalahan putusan itu DKPP menganggap Hasyim kurang cakap dalam kepemimpinan, ia dinilai telah melanggar kode etik Pasal 8 ayat 2 Peraturan KPU 10 Tahun 2023 sehingga DKPP menjatuhkan sanksi berupa peringatan keras.

Pelanggaran ketiga, Hasyim dinilai melanggar prinsip mandiri, proporsional, dan profesional karena menemui calon peserta pemilu. Hasil pemeriksaan DKPP yang bersangkutan terbukti melakukan perjalanan pribadi Jakarta-Yogyakarta bersama Mischa Hasnaeni Moein alias Wanita Emas yang merupakan calon peserta pemilu. saat itu ia dikenakan sanksi berupa Peringatan Keras Terakhir

Pelanggaran keempat, terkait dengan penerimaan pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai capres. Hasyim bersama enam anggota KPU lainnya di adukan ke DKPP karena menerima pendaftaran Gibran pada 25 Oktober 2023 sebelum merevisi PKPU Nomor 19 Tahun 2023. DKPP menyatakan Hasyim terbukti melanggar ketentuan Pasal 15 huruf c Peraturan DKPP tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu. Atas tindakan itu Hasyim selaku teradu ke satu dikenakan sanksi berupa peringatan keras terakhir.

Setelah berulang kali kena sanksi, mantan Kepala Satuan Koordinasi Wilayah (Sat Korwil) Barisan Ansor Serbaguna (Banser), bukannya mawas diri. Belakangan justru diadukan seorang perempuan berinisial CAT, anggota Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) Den Haag, Belanda. CAT melaporkan Hasyim ke DKPP pada 18 April 2024 atas dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu, berupa untuk mendekati, merayu, dan berbuat asusila. Semula pelaporan diwakilkan oleh Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia (LKBH FHUI) dan LBH APIK.

Kuasa hukum korban asusila Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari, Aristo Pangaribuan (kiri) dan Maria Dianita Prosperianti, saat memberikan keterangan pers di Kantor DKPP RI, Jakarta, Rabu (3/7/2024). ANTARA/Rio Feisal

Menurut pengacara CAT sekaligus Perwakilan dari LKBH FHUI, Aristo Pangaribuan, Hasyim telah memperdaya pengadu dengan relasi kuasanya. Mereka melaporkan Hasyim telah menyalahgunakan jabatan dengan menggunakan berbagai fasilitas kedinasan dan mengasosiasikan diri dengan kekuasaan. Hasyim juga memberikan janji dan memanipulasi informasi untuk merayu korban demi memenuhi nafsu pribadinya.

“Perbuatan itu dilakukan kepada klien kami anggota PPLN yang memiliki hubungan pekerjaan dengan Ketua KPU. Padahal, Ketua KPU telah terikat pernikahan yang sah,” beber Aristo, di hadapan wartawan.

Atas bukti-bukti itu Majelis hakim DKPP yang di Ketuai oleh Heddy Lugito akhirnya menyatakan. “Menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap kepada teradu Hasyim Asy’ari selaku ketua merangkap anggota Komisi Pemilihan Umum sejak putusan ini dibacakan,” ujar Ketua Majelis DKPP Heddy Lugito membacakan putusan pelanggan etik, Rabu, 3 Juli 2024.

Atas putusan itu, DKPP memerintahkan Bawaslu untuk mengawasi pelaksanaan sanksi tersebut, serta meminta Presiden Jokowi segera menerbitkan Perpres atas pemberhentian Hasyim Asyari sebagai ketua KPU.

Selain keputusan itu sebenarnya pihak LKBH FHUI dan Yayasan APIK selaku konsultan CAT mendorong pihak teradu mempertimbangan membawa kasus tersebut ke ranah pidana dan melanjutkan pengaduan itu ke Universitas Diponegoro meminta pihak Universitas untuk meminta mempertimbangan posisi Hasyim sebagai dosen di perguruan itu. Aristo selaku pengacara CAT menyatakan menyerahkan keputusan itu kepada pengadu untuk mempertimbangkan dorongan itu.

Jika Hasyim Asyari dipecat akibat tindakan asusila terhadap seorang perempuan. Ternyata Hasyim bukan ketua KPU pertama yang jabatannya harus berakhir di tengah jalan. Sebelum Hasyim, setidaknya ada empat orang Ketua KPU lainnya yang bernasib sama, harus lengser dan diganti sebelum masa jabatanya berakhir.

Gedung KPU RI (VOI)

Ketua KPU yang Tersandung Kasus

Berikut Ketua KPU yang harus mengakhiri kepemimpinannya di tengah jalan sebelum masa jabatan berakhir. Pertama terdapat, Nazaruddin Sjamsuddin ketua KPU di periode tahun 2001 hingga 2005. Ketua KPU RI pertama di era reformasi ini digantikan oleh wakilnya akibat terjerat kasus korupsi pada Rabu 14 Desember 2005.

Nazarudin dijatuhi hukuman pengadilan 6 tahun penjara dan denda 300 juta oleh pengadilan tindak pidana korupsi. Ia terbukti korupsi pengadaan asuransi kecelakaan diri di PT Bumida sehingga merugikan keuangan negara Rp 5,03 miliar. Namun dalam putusan PK, hukuman di korting menjadi 4,5 tahun dan denda Rp 300 juta. Serta mengganti uang negara sebesar Rp 1 miliar.

Kasus itu juga menyeret tiga pegawai, antara lain Sussongko Suhardjo divonis dua tahun, enam bulan penjara, sementara Hamdani dihukum 4 tahun penjara. Sementara Komisioner lainya, Mulyana W Kusuma terjerat kasus penyuapan anggota Badan pemeriksaan Keuangan (BPK). Sementara Rusadi Kantaprawira, dijadikan tersangka kasus korupsi penyimpangan dalam pengadaan tinta pemilu di KPU.

Kedua, Abdul Hafiz Ansari yang menjabat sebagai ketua KPU pada periode 2007 hingga 2012 masa jabatan Abdul Hafiz harus berakhir di tengah jalan setelah menjadi tersangka pemalsuan surat sertifikasi rekapitulasi penghitungan suara di Pilkada Halmahera Barat pada tahun 2009. Kendati kasusnya sampai Kejaksaan Agung disangkakan Pasal-pasal 263 dan Pasal 266 KUHP, tak ada kelanjutan kasusnya.

Ketiga, ada Husni Kamil Manik ketua KPU periode 2012 hingga 2016. Masa jabatan Husni Kamil harus berakhir karena yang bersangkutan meninggal dunia pada 7 Juli 2016, akibat menderita infeksi akut.

Keempat, Arif Budiman ketua KPU periode 2017 hingga 2021 ia dicopot dari jabatannya setelah terbukti melanggar kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara Pemilu. Arif diadukan ke Majelis DKPP karena mendampingi dan menemani Evi Novida Ginting Manik yang telah diberhentikan DKPP pada 18 Maret 2020 untuk mendaftarkan gugatan ke PTUN Jakarta. Dalih Arif, hadir atas nama pribadi rasa kemanusiaan.

Banyaknya kasus pemberhentian Ketua KPU sebelum masa jabatanya berakhir menimbulkan pertanyaan adakah yang salah dalam proses seleksi Komisioner KPU selama ini. Menanggapi banyak pemberhentian Ketua KPU selama ini.

Gedung MPR/DPR (Photo by Dino Januarsa on Unsplash

Proses Politik Dituding Jadi Akar Masalah

Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia, Hurriyah, menilai memang selama ini ada yang kurang pas dalam proses seleksi pimpinan KPU. Menurutnya, saat ini proses seleksi semakin kuat pengaruh politik dari periode ke periode. Proses penentuan keterpilihan calon ada di DPR melalui proses uji kelayakan dan kepatutan

Menurutnya untuk tahap uji kopetensi yang bersifat kapasitas, pengetahuan, kemampuan dan rekam jejak berupa tes tertulis, wawancara, psikotes hingga rekam jejak di level Tim Pansel sudah berjalan bagus karena sudah berjalan independent karena melibatkan kalangan akademis dan teknokrat.

Namun saat proses di di DPR melalui proses uji kelayakan dan kepatutan, ada proses yang sifatnya politis, karena membuka proses ketemu dan proses Lobi politik. "Nah disinilah, letak problemnya, karena di sini terbuka sekali ruang untuk cawe-cawe anggota DPR." ujar Hurriyah. Pengajar Ilmu Politik dari FISIP UI, menambahkan disini muncul semacam bargaining, untuk bisa dapat dukungan anggota DPR. Kadang karena politis sifatnya, calon kadang diminta kesanggupannya, untuk bisa mengamankan kepentingan anggota DPR atau kepentingan partai politiknya.

Proses lobby dan komunikasi politik ini berpotensi mengganggu independensi penyelenggara Pemilu. "Jadi disini sifatnya transaksional, jadi bagaimana penyelenggara pemilu akan bersikap independen, jika diatur oleh orang politik," kata Hurriyah, saat dihubungi Voi, Minggu, 7 Juli.

Menurut Hurriyah, jika dikaitkan kontek pimpinan KPU sekarang. KPU periode tahun 2021 adalah periode KPU paling bermasalah. Sebab bukan hanya sekali dua kali melanggar tapi sudah berulang kali melakukan pelanggaran dan terkena sanksi oleh DKPP. Bukti adanya cawe-cawe DPR, misalnya dalam kasus penetapan kuota perempuan meski diprotes banyak pihak, sampai digugat ke MA dan ada putusan MA, karena DPR juga menolak putusan itu tetap tak dilaksanakan KPU.

Untuk mengatasi kondisi ini, Hurriyah menyarankan, jika kita ingin menghasilkan penyelenggara pemilu yang independen, professional, berintegritas. Menurutnya proses seleksi harus diubah. Aturan uga main tentang aturan main diubah. Seleksi harus menekankan sifat independent, mengedepan pengetahuan, kemampuan ,kapasitas, integritas dan rekam jejak. Proses yang bersifat politis melalui mekanisme fit and proper test. Menurut saya harus dihilangkan. "Dengan cara itulah setidaknya kita bisa setidaknya menjaga penyelenggara pemilu tidak membuka ruang komunikasi partai politik," ujarnya

Menurutnya kasus pemecatan ketua KPU Hasyim Asyari, harus menjadi catatan harus menjadi pelajaran atau menjadi lesson learning bagi penyelenggara pemilu ke depan. Buat pelajaran bagi mereka untuk tidak bermain2 terhadap etika dan integritas mereka.

Kedua, sebagai lembaga penyelenggara pemilu. Meski kasus Hasyim Ashari adalah kasus pelecehan seksual, tapi ada kasus-kasus sebelumnya juga menjadi pelajaran bagi KPU untuk membenahi diri secara kelembagaan, untuk bekerja secara konsisten sesuai UU Pemilu, jangan membuat aturan yang melanggar UU Pemilu dan membuat aturan baru yang justru memundurkan progres -progres yang dibuat KPU sebelumnya.