Kabur dari Medan Pertempuran, 2 Tentara Kongo Dihukum Mati

AKARTA - Dua tentara dijatuhi hukuman mati di Republik Demokratik Kongo karena melarikan diri dari pertempuran di provinsi Kivu Utara yang dilanda konflik.

Tentara Kongo memerangi pemberontakan M23 yang didukung Rwanda selama lebih dari dua tahun, serta memerangi milisi lain di perbatasan timurnya. Pemberontak merebut komune Kanyabayonga yang penting dan strategis pekan lalu.

Keputusan tersebut dikeluarkan setelah hukuman mati terhadap 25 tentara pada Kamis pekan ini menggarisbawahi keinginan pihak berwenang untuk menunjukkan mereka tidak akan mentolerir desersi yang telah menyebabkan Kongo berada dalam posisi yang tidak menguntungkan dalam konflik tersebut.

“Persidangan ini memiliki karakter yang bersifat mendidik dan bertujuan untuk membuat tentara menyadari bahwa melarikan diri dari garis pertempuran tidak melindungi mereka, namun justru membuat mereka terkena sanksi berat,” kata hakim negara bagian Kahambu Muhasa Melissa kepada Reuters dilansir Sabtu, 6 Juli.

Pengadilan militer mengatakan pada Jumat, 5 Juli, salah satu tentara, Kakule Mupasula Raphael, meninggalkan garis depan di Kanyabayonga dan melarikan diri. Dia juga dinyatakan bersalah membunuh anak seorang petugas.

Dia mengaku tidak bersalah dan membantah membunuh anak tersebut. Dia mengatakan dia tidak sendirian meninggalkan garis depan.

“Ada banyak tentara kami yang melarikan diri dari Kanyabayonga, bahkan komandan kami juga melarikan diri,” katanya kepada Reuters. Dia berencana mengajukan banding atas hukuman tersebut.

Tentara kedua dituduh melepaskan tembakan ke arah ambulans yang sopirnya menolak menerimanya ketika tentara tersebut berusaha meninggalkan medan perang.

Dia mengaku bersalah dan meminta keadaan yang meringankan dipertimbangkan.

Kongo mencabut moratorium hukuman mati yang telah berlaku selama lebih dari 20 tahun pada Februari untuk kejahatan termasuk desersi dan pengkhianatan.

“Dengan sistem peradilan yang tidak efisien dan efektif… tindakan pemerintah yang mengerikan berarti banyak orang yang tidak bersalah kini berisiko dieksekusi,” Amnesty International memperingatkan.