JAKARTA - Lebih dari 40 orang tewas selama seminggu terakhir terkait meningkatnya kekerasan antara dua etnis yang bertikai di Republik Demokratik Kongo bagian barat.
Pertumpahan darah ini merupakan salah satu yang paling signifikan bagi etnis Teke dan Yaka sejak menjadi perantara perjanjian perdamaian pada April yang dimaksudkan untuk meredakan ketegangan mengenai sengketa pajak tanah yang telah menewaskan ratusan orang dan membuat ribuan orang mengungsi sejak tahun 2022.
Pada Jumat, tentara disergap di provinsi Kwango oleh milisi Yaka bernama Mobondo, yang menyebabkan kematian 21 anggota milisi dan dua tentara, kata juru bicara militer, Antony Mualushayi dilansir Reuters, Rabu, 11 Desember.
Pertempuran tersebut memicu gelombang kekerasan komunal di wilayah yang lebih luas yang mencakup pembakaran 12 warga sipil hingga tewas di desa.
Sebagian besar perempuan dan anak-anak, kata Mualushayi dalam pernyataan terpisah.
“Mereka mengurung para korban di sebuah rumah dan kemudian membakarnya,” kata Guy Mosomo, anggota parlemen dari daerah pemilihan tersebut kepada Reuters.
Delapan pejuang Mobondo lainnya tewas dalam bentrokan tersebut.
BACA JUGA:
Pertikaian terus terjadi karena beberapa pemimpin adat menentang perjanjian yang dibuat pada April, dan mengatakan bahwa perjanjian tersebut tidak inklusif.
Perwakilan dari dua komunitas di ibu kota Kinshasa juga berupaya memicu ketegangan, kata Mualushayi.
“Mereka menginginkan lebih banyak perundingan, dan karena pemerintah mengambil langkah lambat, pihak lain lebih memilih melancarkan serangan untuk memaksa pemerintah Kongo menerima tuntutan mereka,” katanya.