Komisi III DPR Minta Mabes Polri-Komnas HAM Turun Gunung Tangani Kasus Kematian Afif
JAKARTA - Komisi III DPR meminta Mabes Polri dan Komnas HAM turun tangan menangani kasus dugaan penyiksaan terhadap pelajar SMP bernama Afif Maulana di Kuranji, Kota Padang, Sumatera Barat (Sumbar).
Diketahui, kasus Afif mencuat setelah viral di media sosial. Afif diduga dianiaya oleh anggota Direktorat Samapta Bhayangkara (Ditsabhara) Polda Sumatera Barat (Sumbar). Dalam kasus ini, ada 17 anggota Ditsabhara Polda Sumbar yang diperiksa secara etik.
Namun, kasus kematian Afif justru ditutup oleh Kapolda Sumbar Irjen Pol Suharyono. Polda Sumbar menyebut Afif meninggal karena melompat ke sungai dan mengalami patah tulang.
"Kasus di Kuranji ini adalah dugaan penyiksaan maka harus ditangani secara prudent (hati-hati dan seksama). Karena itu, meskipun Polda Sumbar telah bergerak cepat menangani, saya berharap ada pemeriksaan juga yang dilakukan oleh Mabes Polri dengan melibatkan Komnas HAM," ujar Anggota Komisi III DPR, Taufiq Basari, kepada wartawan, Selasa, 2 Juli.
Menurutnya legislator dapil Lampung itu, penanganan serius untuk kasus dugaan penyiksaan Afif perlu dilakukan. Sebab, kata Taufiq, kasus penyiksaan memiliki karakteristik khusus.
"Ia melibatkan aparat penegak hukum, di tempat yang sulit diakses dan biasanya dengan saksi yang terbatas," katanya.
Pria yang akrab disapa Tobas itu menegaskan, penyelidikan tidak bisa hanya mengandalkan keterangan saksi dari aparat, tapi juga harus didukung alat bukti lainnya. Sayangnya, kata dia, CCTV tidak lagi menyimpan data di hari kejadian.
"Namun, tidak ada salahnya jika tetap dilakukan upaya tertentu menggunakan teknologi oleh tim cyber Mabes Polri karena CCTV ini menjadi vital," tegas Tobas.
Politikus NasDem itu menilai, dugaan penyiksaan ini semestinya tidak hanya terfokus pada kematian Afif Maulana, tetapi juga pada dugaan penyiksaan terhadap 18 orang lainnya yang menjadi korban penyiksaan.
"Penyelidikan kasus Afif Maulana tidak boleh dihentikan atau ditutup, harus terus dibuka beriringan dengan kasus dugaan penyiksaan 18 korban yang telah diakui pihak Kepolisian," tegas Tobas.
Baca juga:
- KPK Tetapkan 2 Tersangka Baru Dugaan Korupsi Pengadaan LNG di PT Pertamina
- Heru Budi Targetkan 70 Persen Penduduk Jakarta Terjangkau Transportasi Umum
- Ingatkan UU 20/2023 Sisdiknas, Muhadjir Tekankan Alokasi Anggaran Pendidikan Bukan untuk Kedinasan
- Eks Ketum PBNU: Pemberian Izin Usaha Pertambangan Bisa Jadi Balas Budi Negara ke Ormas
Tobas mengingatkan, para pelaku penyiksaan lain yang sudah mengaku jangan hanya diproses etik, tapi juga harus diproses pidana. Sebab menurut anggota komisi bidang hukum itu, penyiksaan bukan sekedar pelanggaran SOP melainkan kejahatan.
Tobas menjelaskan, Indonesia telah meratifikasi Convention Against Torture and other Cruel, Inhuman, and Degrading Punishment or Treatment (CAT) dengan UU no 5/1998. Artinya, kata Tobas, negara berkewajiban untuk memastikan tindak penyiksaan oleh aparat negara adalah kejahatan pidana yang harus diproses hukum pidana dan wajib melalukan langkah-langkah progresif untuk menghentikan praktek penyiksaan.
"Negara wajib memberikan pemulihan bagi korban penyiksaan. Karena itu dalam proses hukum yang sedang berjalan untuk dugaan penyiksaan 18 orang, maka negara yang dijalankan oleh Kemenkumham wajib mengkoordinasikan pemulihan hak korban dan perlindungan saksi bagi ke-18 korban tersebut dengan melibatkan LPSK, Komnas HAM dan KPAI," kata Tobas menekankan.
"Penanganan ini penting juga dilakukan selagi penyelidikan untuk kasus Afif Maulana tetap harus dilanjutkan. Dengan adanya keterlibatan lembaga-lembaga negara terhadap 18 korban ini maka dapat membantu juga upaya penelusuran terhadap kasus kematian Afif Maulana," tutupnya.