Presiden Marcos Jr. Sebut Filipina Perlu Berbuat Lebih Banyak dari Sekadar Protes Tindakan China di Laut China Selatan

JAKARTA - Insiden 17 Juni di sebuah beting yang disengketakan di Laut Cina Selatan bukanlah sebuah "serangan bersenjata" oleh China terhadap para pelaut dan kapal-kapal Manila, namun negara ini perlu "melakukan lebih dari sekedar protes", kata Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr. pada Hari Kamis.

"Kami telah mengajukan lebih dari seratus protes, kami telah melakukan demontrasi dalam jumlah yang sama," kata Marcos kepada para wartawan, melansir Reuters 27 Juni.

"Kita harus melakukan lebih dari itu," tandasnya.

Meskipun tidak dianggap sebagai serangan bersenjata, penjaga pantai Negeri Tirai Bambu melakukan "tindakan ilegal" dalam mencegah pasokan pasukan secara teratur, kata Presiden Marcos Jr.

Sebelumnya, seorang pelaut Filipina mengalami "cedera serius" setelah apa yang digambarkan oleh militernya sebagai "penabrakan dengan kecepatan tinggi yang disengaja" oleh Penjaga Pantai Tiongkok, yang bertujuan untuk mengganggu misi pengiriman ulang pasukan yang ditempatkan di Second Thomas Shoal pada tanggal 17 Juni.

Kementerian Luar Negeri Tiongkok membantah pernyataan Filipina, dengan seorang juru bicara mengatakan pada Hari Kamis lalu itu tindakan yang diperlukan oleh penjaga pantai adalah sah dan profesional.

Pekan ini, Menteri Luar Negeri Filipina Enrique Manalo mengatakan, kedua negara mengadakan pertemuan kelompok kerja pekan lalu sebagai persiapan untuk kemungkinan pertemuan Mekanisme Konsultasi Bilateral pada Juli.

Filipina berkeinginan untuk mengajak Tiongkok kembali ke meja perundingan guna menyelesaikan perbedaan di Laut China Selatan, tanpa mengorbankan kedaulatannya.

"Apa pun langkah-langkah membangun kepercayaan yang kami capai, hal itu tidak akan mengorbankan peningkatan kedaulatan, hak kedaulatan, serta hak dan yurisdiksi kami di Laut Filipina Barat," kata Manalo.

Diketahui, Tiongkok mengklaim hampir seluruh Laut China Selatan dengan apa yang disebut sembilan garis putus-putus (nine-dash line), yang tumpang tindih dengan zona ekonomi eksklusif negara-negara penggugat lainnya, yakni Brunei, Malaysia, Filipina, Taiwan dan Vietnam.

Keputusan pengadilan arbitrase pada tahun 2016, yang tidak diakui oleh Beijing, membatalkan klaim Tiongkok atas perairan strategis tersebut.