Kasus Korupsi Citra Satelit, KPK Panggil Staf Pusat Pemetaan dan Integrasi Tematik BIG
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil seorang staf Pusat Pemetaan dan Integrasi Tematik Badan Informasi Geospasial (PPIT BIG). Penyidik berencana melakukan pemeriksaan terhadap staf tersebut sebagai saksi dalam dugaan korupsi pengadaan Citra Satelit Resolusi Tinggi (CSRT).
"Dheny Trie Wahyu Sampurno, Staf PPIT BIG Tahun 2015 diperiksa sebagai saksi untuk tersangka PRK (Priyadi Kardono)," kata Plt Juru Bicara KPK Bidang Penindakan Ali Fikri dalam keterangan tertulisnya, Selasa, 16 Maret.
Belum diketahui secara pasti materi yang akan didalami penyidik saat memeriksa Dheny. Namun, dia diduga mengetahui perihal dugaan korupsi saat pengadaan satelit ii dilakukan.
Diberitakan sebelumnya, dalam perkara korupsi CSRT pada Badan Informasi Geospasial (BIG) bekerja sama LAPAN, KPK awalnya menetapkan dua tersangka yaitu Priyadi Kardono (PRK) dan Muchamad Muchlis (MUM).
Priyadi Kardono adalah Kepala Badan Informasi Geospasial (BIG) periode 2014-2016, sedangkan Muchamad Muchlis adalah Kepala Pusat Pemanfaatan Teknologi Dirgantara (Kapusfatekgan) LAPAN periode 2013-2015.
Baca juga:
- KPK Panggil Eks Dirut PT Bhumi Prasaja Rasjid Ansharry Terkait Korupsi Satelit
- Direktur PT Bhumi Prasaja Kembali Diperiksa Terkait Kasus Korupsi Citra Satelit
- Korupsi Citra Satelit Bukan Hanya Rugikan Negara, Tapi Berdampak pada Bencana Alam
- Akankah Juli Nanti DKI Buka Sekolah? Wagub Bilang Belum Tentu
Selanjutnya, KPK menetapkan Komisaris Utama PT Ametis Indogeo Prakarsa (AIP), Lissa Rukmi Utari sebagai tersangka terkait kasus dugaan korupsi pengadaan Citra Setelit Resolusi Tinggi (CSRT) pada Badan Informasi Geospasial (BIG) bekerja sama dengan LAPAN.
Dia diduga melakukan pertemuan dengan Kepala Badan Informasi Geospasial tahun 2014-2016 Priyadi Kardono, dan Kepala Pusat Pemanfaatan Teknologi Dirgantara (Kapusfatekgan) LAPAN tahun 2013-2015 Muchamad Muchlis.
Pertemuan ini kemudian berujung pada kesepakatan rekayasa terhadap berbagai dokumen Kerangka Acuan Kerja (KAK) sebagai dasar pelaksanaan proyek ini.
Selain itu, KPK juga menduga Lissa menerima pembayaran secara penuh dan dia juga aktif melakukan penagihan pembayaran tanpa dilengkapi dokumen persyaratan yang lengkap. Beberapa dokumen pembayaran harganya diubah.