Korupsi Citra Satelit Bukan Hanya Rugikan Negara, Tapi Berdampak pada Bencana Alam
Ilustrasi (Foto: Irfan Meidianto/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut dugaan korupsi proyek pengadaan Citra Satelit Resolusi Tinggi (CSRT) yang tengah diusutnya bukan hanya berdampak pada kerugian negara sebesar Rp179,1 miliar. Namun juga berdampak pada bencana alam. Sebab, CSRT ini penting bagi negara untuk memetakan tata ruang dan lingkungan di Indonesia.

"Foto citra satelit resolusi tinggi ini bisa menjadi dasar penerbitan izin dan penegakan hukum terkait dengan pelanggaran tata ruang wilayah," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam konferensi pers yang ditayangkan di akun YouTube KPK RI, Senin, 25 Januari.

Dengan manfaat yang begitu penting, seharusnya, pengadaan citra satelit harus dilakukan dengan penuh integritas dan sesuai dengan aturan yang berlaku. 

Hal ini penting, karena tanpa foto citra satelit yang mumpuni sulit untuk mendeteksi adanya pelanggaran tata ruang. Selain itu, hasil dari citra satelit ini juga bisa digunakan untuk menjadi dasar perencanaan tata ruang wilayah termasuk pertambangan dan pemukiman.

"Salah satu dampak pelanggaran tata ruang wilayah adalah bencana alam seperti yang saat ini terjadi di mana-mana," tegasnya.

Diberitakan sebelumnya, dalam perkara korupsi CSRT pada Badan Informasi Geospasial (BIG) bekerja sama LAPAN, KPK awalnya menetapkan dua tersangka yaitu Priyadi Kardono (RK) dan Muchamad Muchlis (MUM). Priyadi Kardono adalah Kepala Badan Informasi Geospasial (BIG) periode 2014-2016, sedangkan Muchamad Muchlis adalah Kepala Pusat Pemanfaatan Teknologi Dirgantara (Kapusfatekgan) LAPAN periode 2013-2015.

Selanjutnya, KPK menetapkan Komisaris Utama PT Ametis Indogeo Prakarsa (AIP), Lissa Rukmi Utari sebagai tersangka terkait kasus dugaan korupsi pengadaan Citra Setelit Resolusi Tinggi (CSRT) pada Badan Informasi Geospasial (BIG) bekerja sama dengan LAPAN.

Dia diduga melakukan pertemuan dengan Kepala Badan Informasi Geospasial tahun 2014-2016 Priyadi Kardono, dan Kepala Pusat Pemanfaatan Teknologi Dirgantara (Kapusfatekgan) LAPAN tahun 2013-2015 Muchamad Muchlis. 

Pertemuan ini kemudian berujung pada kesepakatan rekayasa terhadap berbagai dokumen Kerangka Acuan Kerja (KAK) sebagai dasar pelaksanaan proyek ini.

Selain itu, KPK juga menduga Lissa menerima pembayaran secara penuh dan dia juga  aktif melakukan penagihan pembayaran tanpa dilengkapi dokumen persyaratan yang lengkap. Beberapa dokumen pembayaran harganya diubah.