SYL Merasa Dituduh Bawahan, Padahal Semua Perintah untuk Kepentingan Negara

JAKARTA - Mantan Menteri Pertanian (Mentan), Syahrul Yasin Limpo atau SYL merasa dituduh bawahannya dalam kasus dugaan pemerasan dan penerimaan gratifikasi di Kementerian Pertanian (Kementan). Padahal, semua yang dilakukan semata hanya untuk kepentingan negara dan masyarakat Indonesia.

"Ini kan ada Undang-Undang nomor 2 yang membenarkan Perpu nomot 1 Tahun 2020 tentang kedaruratan yang menjadi pendekatan. Maafkan saya Pak JPU. Saya harus jelaskan ini, saya siap dihukum, cuman memang saya berharap ini harus dilihat dalam konteks kepentingan nasional. Bapak adili saya dalam Indonesia yang lagi normal sementara pendekatan yang saya lakukan pada saat saya menjadi menteri adalah kepentingan negara, kepentingan rakyat yang 287 juta yang terancam dan semua bisa selesai," ucap SYL dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu, 12 Juni.

SYL kemudian menyinggung soal bawahannya yang seolah menyudutkannya. Padahal, Komisi ASN, Komisi PTUN hingga Ombudsman bisa menjadi tempat pengaduan bagi bawahannya.

Bahkan, bisa juga langsung berkonsultasi dengannya saat menerima perintah yang berkaitan dengan uang.

"Maafkan saya, oleh karena itu katakanlah kalau ada yang mengatakan dipaksa, kalau bawahan tidak mau melakukan dia harus diganti kan ada Komisi ASN, ada Komisi PTUN, ada Komisi Ombudsman yang bisa tempatnya untuk seseorang lari untuk melakukan bahwa saya tidak mau dengan itu. Atau minimal, maaf ini kalau agak masuk, minimal dia konsultasi atau kembali bertanya sama saya, kalau dia tidak menanyakan, katakan kalau dia, dia yang dikatakan karena seragam ini jawaban, maaf ini," sebutnya.

Sehingga, SYL merasa dituduh oleh bawahannya yang seragam menyimpulkan semua permintaan itu atas kemauannya sebagai menteri. Pahadal para bawahan itu tak mendengar langsung permintaan tersebut datang dari SYL.

"Seakan-akan tinggal menuduh ini pimpinan, ini kemauan menteri, kenapa nggak konsultasi sama saya? dan selalu saja ada katanya katanya, tidak pernah langsung dengar sama saya," ujarnya.

Usai menyampaikan hal itu, SYL menanyakan ke ahli terkait pendekatan hukum pidana dengan kondisi tersebut dan siapa yang mesti mempertanggungjawabkan konsekuensi hukum.

"Pada pendekatan pidana itu termasuk delik pidana atau itu sesuatu yang harus dikaji lebih jauh? apakah ini masuk pada pendekatan yang pertanggung jawaban pidana ke saya, kepada pimpinan, ataukah ini sesuatu yang katakanlah tadi harus mendapatkan pendekatan hukum yang berbeda? Itu yang saya mau tahu," tanya SYL.

Agus kemudian memberikan penjelasan. Prof Agus mengatakan parameter pertanggungjawaban itu berpatokan pada itikad baik pada perintah yang diberikan yakni kode etik dan Peraturan Perundang-undangan.

"Mohon izin Yang Mulia, tadi intinya yang ingin saya tegaskan dan saya sampaikan kembali bahwa terkait dengan pertanggungjawaban pimpinan ataukan bawahan bapak, itu tadi saya sudah sampaikan patokannya adalah ketika ada perintah dari pimpinan dan bawahan sudah melaksanakan perintah dengan itikad baik maka ini sudah bergeser," kata Agus.

"Tentu bawahan tidak bisa dimintai pertanggung jawaban. Sebaliknya kalau ternyata perintah yang disampaikan oleh pimpinan itu A misalkan, tapi ternyata bawahan tidak melaksanakan perintah yang disampaikan oleh pimpinan A itu menjadi B misalkan dan tidak sesuai dengan itikad baik tadi maka bergeser pertanggung jawabannya menjadi pertanggung jawaban bawahan," sambungnya.

Dalam perkara ini, SYL didakwa melakukan pemerasan hingga Rp44,5 miliar selama periode 2020-2023.

Perbuatan ini dilakukannya bersama-sama dengan Sekretaris Jenderal Kementan Kasdi Subagyono dan Direktur Alat dan Mesin Pertanian Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Kementan Muhammad Hatta.

Uang ini digunakan untuk kepentingan istri dan keluarga Syahrul, kado undangan, Partai NasDem, acara keagamaan, carter pesawat hingga umrah dan berkurban. Selain itu, ia turut didakwa menerima gratifikasi sebesar Rp40,6 miliar sejak Januari 2020 hingga Oktober 2023.