Sekstorsi, Kejahatan Predator Seks Daring yang Dialami Ibu Muda di Tangsel dalam Kasus Pencabulan Anak Kandung

JAKARTA – Kasus pemerasan dengan menggunakan media sosial Facebook tengah menjadi perbincangan hangat. Kriminolog menyebut aksi ini sebagai fenomena sextortion atau sekstorsi.

Dalam sepekan kemarin, kasus ibu muda R (22) yang melakukan pelecehan seksual terhadap putra sulungnya, R (5), menghebohkan masyarakat. Ibu asal Pondok Aren, Tangerang Selatan, ini diiming-imingi duit Rp15 juta jika menyetor konten bernuansa asusila.

Kejadian serupa terjadi kembali dan menimpa seorang ibu di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. AK (26) tega mencabuli putra kandungnya yang masih berusia 10 tahun. Kini, dua ibu tersebut telah ditetapkan sebagai tersangka.

Psikolog keluarga Sani Budiantini mengatakan, perlu mengecek mental atau kejiwaan ibu yang melakukan pelecehan seksual terhadap anak kandung mereka untuk mengetahui apakah ibu yang kemudian menjadi tersangka memiliki gangguan kejiwaan.

Pelaku sekstorsi kerap mengincar mereka yang menampilkan kerentanan di media sosial. (Unsplash)

“Karena seorang ibu seharusnya memberikan perlindungan, pengasuhan anak, dan perlu memberikan kasih sayang, pemeliharaan, kebutuhan anak. Ketika seorang ibu melakukan pelecehan seksual, sangat tidak masuk akal dan menjadi keprihatinan, mengenai motif yang dilakukan,” kata Sani kepada VOI.

Ia juga menekankan potensi masalah mental yang akan dihadapi anak sebagai korban, di kemudian hari. Salah satu dampak yang muncul adalah anak tidak lagi percaya kepada ibu atau pun orang dewasa lainnya.

“Seorang anak yang berharap ibunya taking care malah melakukan hal menyakitkan, membuat dirinya trauma. Bisa berdampak pada tumbuh kembang di kemudian hari,” imbuhnya.

Pemerasan Seks

Namun, meski kedua ibu tersebut dipandang sebagai pelaku kejahatan seksual, dari sudut pandang lain si ibu sendiri juga bisa dianggap sebagai korban pemerasan.

Seperti diketahui, kedua kasus ibu melecehkan anak kandung ini memiliki kesamaan, yaitu keduanya sama-sama dihubungi oleh akun Facebook Icha Shakira. Kejadiannya pun sama-sama pada 2023. R pertama kali dihubungi pada 28 Juli, sedangkan AK pada Desember di tahun yang sama.

Adalah akun Facebook dengan nama Icha Shakila yang menjadi kenalan R dan AK di dunia maya. Dua ibu tersebut diminta mengirim video asusila terhadap anak mereka dengan janji dibayar Rp15 juta. Jika menolak, foto bugil yang sudah lebih dulu dikirim diancam bakal disebarkan akun Icha Shakila ini.

Gelap mata dan terhimpit ekonomi, keduanya melakukan tindakan bejat tersebut. Namun harapan dikirimi uang belasan juta melayang karena Icha Shakila tak bisa lagi dihubungi, sementara video mesum dengan anak sendiri terlanjur tersebar di media sosial.

R (22), ibu muda di Pondok Aren Tangsel tersangka kasus persetubuhan dengan anak kandung sebagai akibat kejahatan sekstorsi. (VOI/Muhamad Jehan)

Modus kejahatan seperti ini disebut sekstorsi. Menurut laman FBI, sextortion atau sekstorsi adalah ketika predator online memperdaya seseorang untuk memberikan mereka gambar atau video asusila, dan kemudian meminta uang atau gambar porno lebih banyak atau bahkan permintaan lain. Jika tidak dituruti, mereka mengancam akan membagikan gambar maupun video yang sudah dikirim tersebut.

Sementara itu, menurut Mamik Sri Supami sebagai kriminolog dari Universitas Indonesia menganggap R mengalami kejahatan seksual yang dikenal dengan sekstorsi, terlepas dari dugaan tindak pidana pencabulan yang dilakukan terhadap anaknya. Hal ini merujuk pada keterangan R kepada polisi bahwa ia diancam saat membuat video mesum.

“Dalam pandangan saya apa yang dialami oleh R (mengaku diancam lewat sosial media) adalah kejahatan seksual yang dikenal dengan istilah sextortion,” kata Mamik.

Mamik menjelaskan, sekstorsi merupakan bentuk kejahatan siber yang menggunakan informasi seksual dari korban untuk melakukan aksi pemerasan seksual dengan tujuan kepuasan maupun materi.

Ia menambahkan, pelaku kejahatan sekstorsi umumnya adalah laki-laki dan korbannya perempuan. Modus fenomena ini sebenarnya beragam, namun yang marak terjadi adalah dengan membangun relasi cinta.

Menurut Mamik, pemerasan online ini biasanya diumulai dengan cara mendekati korban melalui bujuk rayu, bersikap penuh perhatian. Tapi lama kelamaan, setelah korban dirasa terjebak dalam imajinasi relasi cinta dan janji-janji tentang perkawinan, pelaku mulai meminta gambar atau video seksual atas nama cinta.

“Gambar atau video ini dijadikan alat pemerasan pelaku sekaligus alat kontrol pelaku terhadap korban,” jelasnya.  

Narsis di Media Sosial

Hobi masyarakat Indonesia yang gemar membagikan segala hal di media sosial bisa menjadi celah bagi pelaku kejahatan sekstorsi dalam mengincar korbannya, menurut pakar digital forensik Ruby Alamsyah.

Pelaku kejahatan sekstorsi memang biasanya mengincar mereka yang menampilkan kerentanan di media sosial. Menurutnya, kecenderungan para korban yang diincar adalah mereka yang kesepian dan sedang dalam masalah.

“Kenapa pelaku tahu itu? Biasanya orang Indonesia terlalu narsis. Sedikit-sedikit adalah masalah di-expose di medsos, pelaku memantau hal begitu,” ucap Ruby.

“Mereka ini yang gampang terpancing,” sambungnya.

Dirreskrimsus Polda Metro Jaya Kombes Ade Safri Simanjuntak. (ANTARA/Erlangga Bregas Prakoso)

Mengutip Internet Watch Foundation, di dunia yang saling terhubung, internet telah mengubah cara kita hidup, bekerja, dan terhubung dengan orang lain. Namun dunia digital bukannya tanpa bahaya, dan salah satu ancaman yang berdampak besar pada individu adalah pemerasan seksual online atau sekstorsi.

Berkaca pada dua kasus sekstorsi ini, polisi mengimbau masyarakat untuk mewaspadai apabila ada pihak yang menjanjikan uang dari pelaku tindak kejahatan.

"Agar berhati-hati dan waspada, serta jangan mudah percaya, tergiur, dan terjebak oleh janji-janji manis ataupun iming-iming diberikan uang dalam jumlah besar. Namun, harus melakukan sesuatu perbuatan yang bertentangan dengan norma hukum, agama, dan sosial di masyarakat," kata Direktur Reskrimsus Polda Metro Jaya Kombes Ade Safri Simanjuntak.