Peneliti Ungkap Kebijakan Lockdown di Eropa Selamatkan Jutaan Nyawa dalam Memori Hari Ini, 8 Juni 2020
JAKARTA – Memori hari ini, empat tahun yang lalu, 8 Juni 2020, peneliti dari Imperial College London mengungkap kebijakan negara-negara di Eropa yang memberlakukan lockdown (karantina wilayah) telah menyelamatkan 3,1 juta jiwa dari COVID-19. Opsi karantina wilayah dianggap salah satu kebijakan non farmasi terbaik cegah penularan virus korona.
Sebelumnya, kehadiran pandemi COVID-19 membawa kepanikan di berbagai penjuru Eropa. Kepanikan itu membuat 11 negara Eropa melakukan karantina wilayah. Mereka beranggapan karatina wilayah dapat membuat penyebaran virus korona melambat.
Isu virus mematikan hadir di Wuhan, China sempat membuat dunia tak peduli. Banyak di antara negara-negara justru menganggap remeh awal kemunculan virus korona. Namun, penularan virus korona yang tergolong cepat dan tinggi mengubah segalanya.
Kondisi itu diperparah dengan pemerintah China yang gagal mengantisipasi perkembangan virus. Pintu penerbangan internasional – dari dan ke Wuhan terus dibuka. Imbasnya ke mana-mana. Petaka hadir dari daratan Asia hingga Eropa. Angka penularan menggila.
Kematian karena COVID-19 juga meningkat tajam. Segala macam sektor yang ada di negara-negara Eropa jatuh pada titik terendah. Kondisi itu diperparah dengan tak banyak informasi terkait langkah pencegahan terkait COVID-19. Alhasil, banyak kebijakan yang bersifat uji coba diterapkan.
Empunya kuasa mulai menarapkan kebijakan kerja dan sekolah dari rumah. Orang-orang diminta untuk mulai menjauhi kerumunan dan menjaga jarak. Namun, tak sedikit pula yang menerapkan kebijakan karantina wilayah. Total ada 11 negara Eropa yang melakukan karantina Wilayah -- Austria, Belgia, Denmark, Prancis, Jerman, Italia, Norwegia, Spanyol, Swedia, Swiss, dan Inggris.
Kebijakan itu memang memiliki daya rusak ke sektor-sektor ekonomi. Bisnis tak jalan. Suatu kota pun menjelma bak kota mati karena orang-orang bak dipaksa terkurung di rumah. Kebijakan itu pun memunculkan kritik dari sana sini. Di inggris, utamanya.
Di sana muncul kelompok-kelompok yang menolak karantina wilayah. Pemerintah Inggris pun mulai menganggap penolakan seperti angin lalu saja. Kebijakan karantina wilayah untuk memutus mata rantai penyebaran virus korona tetap dilakukan.
"Dengan sebagian besar negara sudah berada di bawah tindakan ekstrem, jelas bahwa kita perlu berbuat lebih banyak, bersama-sama, untuk mengendalikan varian baru ini saat vaksin sedang diluncurkan. Di Inggris, oleh karena itu kami harus menerapkan lockdown nasional, " ungkap Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson sebagaimana dikutip laman kompas.com, 1 Mei 2020.
Kebijakan karantina wilayah memang meninggalkan banyak nestapa. Namun, kebijakan itu terhitung ampuh. Peneliti dari Imperial College London merilis penelitiannya terkait efektivitas kebijakan karantina wilayah di Eropa pada 8 Juni 2020.
Baca juga:
- Indonesia Tak Jadi Mencabut Lisensi Qatar Airways dalam Memori Hari Ini, 7 Juni 2017
- Erick Thohir Jual Saham Inter Milan ke Suning Group dalam Memori Hari Ini, 6 Juni 2016
- Jokowi - Jusuf Kalla Letakkan Batu Pertama Universitas Islam Internasional Indonesia dalam Memori Hari Ini, 5 Juni 2018
- Hasil Survei SMRC Tegaskan Rakyat Indonesia Setia ke NKRI Bukan Khilafah dalam Memori Hari Ini, 4 Juni 2017
Hasil penelitaan itu menyebutkan bahwa karantina wilayah dapat mencegah 3,1 juta orang meninggal dunia. Karantina wilayah dapat menyelamat 630 ribu rakyat Prancis, 630 rakyat Italia, dan 470 rakyat Inggris, dan lain sebagainya.
”Dengan menggunakan model berdasarkan data jumlah kematian di 11 negara Eropa, jelas bagi kami bahwa intervensi kebijakan non farmasi seperti lockdown dan penutupan sekolah. Tindakan itu telah menyelamatkan sekitar 3,1 juta nyawa di negara-negara ini.”
“Penelitian kami menunjukkan bahwa langkah-langkah yang diterapkan di negara-negara tersebut pada bulan Maret 2020 berhasil mengendalikan epidemi. Kebijakan itu secara signifikan mengurangi jumlah orang yang mungkin terinfeksi virus SARS-CoV-2,” ungkap penulis studi dari Departemen Matematika, Imperial College London, Seth Flaxman dikutip laman imperial.ac.uk, 8 Juni 2020.