Hadapi Pengunjuk Rasa, Rezim Militer Myanmar Gunakan Teknologi Pengenalan Wajah
JAKARTA - Aksi unjuk rasa penolakan kudeta rezim militer Myanmar sudah memasuki hari ke-41 pada Sabtu 13 Maret kemarin. Tercatat sedikitnya 92 orang telah tewas, hampir dua ribu orang ditahan dan ratusan orang lainnya luka-luka.
Ini tidak lepas dari aksi represif rezim militer Myanmar, yang tak segan memukul, melemparkan granat kejut, melepaskan gas air mata, tembakan peluru karet hingga peluruh tajam ke arah pengunjuk rasa.
Selain itu, dalam beberapa foto yang beredar di media sosial, polisi dan militer Myanmar kedapatan menggunakan drone, kamera telepon seluler hingga kamera profesional, yang belakangan diketahui untuk melakukan memantau aksi unjuk rasa, sekaligus mengidentifikasi dan pengenalan wajah.
Rezim militer Myanmar juga diketahui memanfaatkan sistem kamera CCTV yang baru dipasang beberapa waktu lalu, di sejumlah tempat publik di sejumlah kota. Kamera-kamera ini dilengkapi dengan teknologi pengenalan wajah dan pelat nomor kendaraan.
"Akses junta militer Myanmar ke sistem kamera publik baru, yang dilengkapi dengan pengenalan wajah dan teknologi pengenalan pelat nomor, merupakan ancaman serius terhadap hak-hak dasar di negara tersebut, kata Human Rights Watch Kamis 12 Maret lalu, melansir www.hrw.org.
"Penggunaan teknologi pengenalan wajah di ruang publik tidak hanya berisiko pada kesalahan identifikasi orang sebagai tersangka kriminal. Sekalipun teknologinya akurat, Ini memungkinkan pemerintah memantau kebiasaan dan gerakan orang, menciptakan potensi efek mengerikan pada kebebasan berekspresi, berserikat, dan berkumpul. Ini juga dapat digunakan untuk memilih individu dengan cara yang diskriminatif atau sewenang-wenang, termasuk untuk etnis atau agama mereka," sebut Human Rights Watch.
Peningkatan kemampuan pengawasan melalui teknologi kecerdasan buatan menjadi perhatian yang meningkat setelah kudeta militer 1 Februari, karena junta semakin banyak menggunakan kekuatan mematikan terhadap pengunjuk rasa dan pihak lain yang mengekspresikan pandangan yang berlawanan.
Penggunaan kamera CCTV ini tidak lepas dari peluncuran progam 'Kota Aman' pada 14 Desember 2020 lalu. Pada fase pertama, ada 335 sistem kamera CCTV yang dipasang Ibukota Naypyidaw dan delapan kota lainnya.
Sedianya, teknologi ini akan diterapkan juga di Mandalay pada pertengahan tahun 2021 ini, disusul kemudian penerapan di pusat komersial di Yangon. Total dana yang dirogoh Myanmar untuk mewujudkan program ini mencapai 1,2 juta dolar Amerika Serikat.
“Sistem pengawasan yang kuat ini mendukung tindakan keras junta Myanmar terhadap demonstrasi. Kemampuan pihak berwenang untuk mengidentifikasi orang-orang di jalanan, berpotensi melacak pergerakan dan hubungan mereka, dan mengganggu kehidupan pribadi menimbulkan risiko besar bagi aktivis anti-kudeta," jelas peneliti Asia Manny Maung.
Di Myanmar, peluncuran pengenalan wajah dan teknologi pengenalan pelat nomor kendaraan telah disetujui tanpa konsultasi publik atau transparansi, sehingga tidak jelas bagaimana pihak berwenang berencana untuk mengurangi potensi dampak teknologi tersebut terhadap hak asasi manusia, termasuk hak atas privasi.
Baca juga:
- Bertambah 12 Orang, Jumlah Pengunjuk Rasa Antikudeta Militer Myanmar yang Tewas Capai 92 Orang
- Kudeta Militer, Presiden Joe Biden Jamin Status dan Keamanan 1.600 Warga Myanmar di AS
- Lawan Rezim Militer, Parlemen Myanmar Tunjuk Pengacara HAM Internasional
- Kudeta Rezim Militer, Jepang Tahan Satelit Pertama Myanmar di Luar Angkasa
Untuk diketahui, setelah melakukan kudeta rezim militer Myanmar mengamandemen pasal 5, 7, dan 8 dari Undang-Undang Melindungi Privasi dan Keamanan Warga (2017), menghapus perlindungan dasar, termasuk hak untuk bebas dari penahanan sewenang-wenang dan hak untuk bebas dari tanpa jaminan, pengawasan, pencarian, dan penyitaan pada 13 Februari.
“Sebelum kudeta militer, pemerintah Myanmar mencoba untuk membenarkan teknologi pengawasan massal atas nama memerangi kejahatan. Tetapi yang dilakukannya adalah memberdayakan junta militer yang kejam. Peluncuran teknologi ini harus ditangguhkan mengingat risiko yang terlibat dan kemungkinan pelanggaran hak lebih lanjut," pungkas Maung.
Kudeta Myanmar. Redaksi VOI terus memantau situasi politik di salah satu negara anggota ASEAN itu. Korban dari warga sipil terus berjatuhan. Pembaca bisa mengikuti berita seputar kudeta militer Myanmar dengan mengetuk tautan ini.