Di BP Jamsostek Ada Program Cicilan Rumah, Lantas Apa Urgensi Tapera?

JAKARTA – Peraturan terbaru pemerintah mengenai program Tabungan Perumahan Rakyat, disingkat Tapera, memicu diskusi hangat di media sosial. Pendapatan bersih para pekerja berpotensi makin tergerus akibat penambahan potongan dengan adanya program tersebut. 

Para pekerja baik itu ASN, pekerja swasta, maupun pekerja mandiri tengah bersiap dengan pemotongan gaji sebesar 3 persen tiap bulan untuk simpanan Tapera. Berdasarkan peraturan, pekerja akan dikenakan potongan gaji 3 persen pada tanggal 10 setiap bulannya untuk tabungan Tapera ini.

Bagi pekerja, simpanan Tapera akan dibayarkan oleh pemberi kerja sebesar 0,5 persen dan sisa 2,5 persen dari pekerja itu sendiri, sedangkan pekerja mandiri akan dipotong penuh 3 persen.

Aturan ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat.

Komisioner BP Tapera Heru Pudyo Nugroho menegaskan ini adalah upaya pemerintah untuk meningkatkan efektivitas penyelenggaraan Tapera dan akuntabilitas pengelolaan dana Tapera.

Dana yang dihimpun dari para peserta melalui persentase pemotongan gaji atau pendapatan akan dikelola oleh BP Tapera sebagai simpanan yang akan dikembalikan kepada peserta nantinya.

"Dana yang dikembalikan kepada peserta Tapera ketika masa kepesertaannya berakhir, berupa sejumlah simpanan pokok berikut dengan hasil pemupukannya," kata Heru dikutip dari keterangan tertulis, Selasa (28/5/2024).

Membebani Pekerja dan Pemberi Kerja

Tapi aturan mengenai iuran Tapera yang dibayarkan dengan skema pemotongan gaji 3 persen per bulannya menimbulkan penolakan di berbagai kalangan. Masykur Isnan, selaku Managing Partner Masykur Isnan&Partner Lawfirm, menegaskan kebijakan ini akan memberatkan tidak hanya dari sisi pekerja, tapi juga pemberi kerja.

Apalagi, Tapera juga berarti menambah iuran wajib yang sudah ada lebih dulu seperti BP Jamsostek dan BPJS Kesehatan. Artinya, pendapatan bulanan yang diterima pekerja juga makin kecil.

“Ini memberatkan dari sisi karyawan, karena sebelumnya kan sudah ada iuran yang dibayarkan pekerja di antaranya BP Jamsostek, BPJS Kesehatan, sehingga makin berimpak pada besarnya iuran, dan akhirnya mengurangi pendapatan bulanan atau take home pay dari sisi karyawan,” kata Masykur Isnan ketika dihubungi VOI.

“Dari sisi perusahaan berarti juga mengeluarkan budget lagi. Sebelumnya sudah ada BP Jamsostek, BPJS Kesehatan. Padahal kondisi bisnis secara umum juga belum sepenuhnya baik seusai pandemi COVID-19,” lanjutnya.

Sejauh ini beban pungutan yang telah ditanggung pemberi kerja sebesar 18,24 persen sampai 19,74 persen dari penghasilan pekerja. Rinciannya adalah iuran untuk Jaminan Sosial Ketenagakerjaan berdasarkan UU No.3/1999 Jamsostek untuk JHT 3,7 persen, Jaminan Kematian 0,3 persen, Jaminan Kecelakaan Kerja 0,24-1,74 persen, dan Jaminan Pensiun 2 persen. Ini masih ditambah Jaminan Sosial Kesehatan berdasarkan UU No.4/2004 SJSN sebesar 4 persen.

Program Tapera konon bertujuan membantu pekerja untuk pembiayaan perumahan. (Unsplash/Sandy Millar)

Program Tapera disebut sebagai salah satu solusi inovatif untuk pembiayaan rumah jangka panjang di Indonesia.

Dikutip di laman resminya, program Tapera ini bertujuan untuk menghimpun dan menyediakan dana murah jangka panjang yang berkelanjutan untuk pembiayaan perumahan dalam rangka memenuhi kebutuhan rumah yang layak dan terjangkau bagi peserta.

Dengan demikian, pemerintah berharap dapat membantu para pekerja untuk memiliki rumah sendiri. Namun, Masykur Isnan menyangsikan urgensi program tersebut. Menurutnya ada hal lain yang penting ketimbang menjalankan Tapera.

“Apakah ini menjawab kebutuhan karyawan? Sebetulnya ada beberapa yang lebih urgent, pertama terkait peningkatan kesejahteraan karyawan,” jelasnya.

“Belum lagi isu-isu lama terkait pembayaran pajak penghasilan yang memberatkan.”

Tumpang Tindih Manfaat

Terkait program Tapera yang bertujuan membantu pekerja untuk pembiayaan perumahan sebenarnya bukan kebijakan yang dijalankan oleh satu badan atau lembaga pemerintah.

Selain Tapera, ada BP Jamsostek yang juga memiliki program pembiayaan dengan konsep serupa. Keduanya sama-sama mewajibkan pekerja menjadi perserta dan membayar iuran dengan pemotongan gaji setiap bulan.

Layanan ini merupakan bagian dari fasilitas Manfaat Layanan Tambahan (MLT) dari sumber dana program Jaminan Hari Tua (JHT). Pekerja yang masuk program ini membayar iuran sebesar 5,7 persen dari gaji setiap bulannya, dengan rincian 2 persen ditanggung pekerja dan 3,7 persen ditanggung perusahaan.

Iuran Tapera hanya akan memberatkan pekerja dan pemberi kerja, terutama di situasi ekonomi yang belum pulih benar setelah pandemi COVID-19. (Unsplash/Kelly Sikkema)

Mengenai fasilitas pembiayaan perumaha, BPJS Ketenagakerjaan memiliki empat program yang terdiri dari pinjaman KPR sampai maksimal 500 juta, Pinjaman Uang Muka Perumahan (PUMO) sampai dengan Rp150 juta dan Pinjaman Renovasi Perumahan (PRP) sampai dengan Rp200 juta serta Fasilitas Pembiayaan Perumahan Pekerja/Kredit Konstruksi (FPPP/KK).

“Program Tapera ini terindikasi adanya tumpang tindih bagi pekerja yang menjadi peserta JHT oleh BP Jamsostek karena memiliki manfaat yang sama,” ucap Isnan.

“Sehingga malah khawatir menimbulkan kontraproduktif terhadap tujuan utama yaitu memberikan perumahan bagi pekerja,” ia menambahkan.

Sementara itu, ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad menilai kebijakan Tapera memang bermanfaat bagi yang belum memiliki rumah. Namun, ia menambahkan kebijakan ini sebaiknya menjadi program opsional bukan kewajiban supaya lebih tepat sasaran.

“Ini enggak boleh dipaksa, jadi sifatnya opsional. Tapera ini kan diperuntukan bagi masyarakat yang katakanlah belum memiliki rumah. Kalau misalnya sudah punya rumah dan sebagainya, sifatnya opsional saja, jadi enggak perlu dibebani,” tegas Tauhid.