Kenaikan UKT di PTN: Antara Kepentingan Ekonomi dan Hak Pendidikan Rakyat
Isu kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) kembali menjadi sorotan publik. Berbagai elemen masyarakat, mulai dari mahasiswa hingga tokoh politik, menyuarakan ketidakpuasan terhadap kebijakan ini. Dalam Rakernas V PDIP, partai tersebut merekomendasikan revisi Permendikbud terkait UKT di PTN. Langkah ini diharapkan dapat meredam gejolak di kalangan mahasiswa yang merasa terbebani.
Prabowo Subianto, Menteri Pertahanan yang juga Presiden terpilih, mengingatkan bahwa PTN dibangun dengan uang rakyat. Oleh karena itu, menurutnya, UKT harus minim atau bahkan gratis. Namun, kenaikan UKT tetap terjadi, menyulitkan banyak mahasiswa untuk mengakses pendidikan tinggi. Wakil Presiden Ma'ruf Amin menyarankan agar beban kenaikan UKT dibagi antara pemerintah, mahasiswa, dan kampus.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, berjanji untuk menghentikan kenaikan UKT yang tidak wajar, namun menegaskan bahwa kenaikan hanya berlaku untuk mahasiswa baru. Pernyataan ini menuai kritik, termasuk dari anggota DPR seperti Dede Yusuf, yang mempertanyakan alokasi anggaran pendidikan yang besar.
Pada tahun 2024, seperti disampaikan Wakil Ketua Komisi X DPR, Dede Yusuf, alokasi anggaran pendidikan dalam APBN mencapai Rp 665 triliun. Angka ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam meningkatkan kualitas dan akses pendidikan di Indonesia. Namun, meskipun dana pendidikan terus meningkat setiap tahun, kebijakan kenaikan UKT tetap menjadi polemik. Banyak pihak mempertanyakan efektivitas penggunaan anggaran tersebut dalam meringankan beban biaya pendidikan tinggi.
Kenaikan UKT di PTN tidak hanya menjadi perdebatan mengenai beban finansial mahasiswa, tetapi juga menyentuh aspek kebijakan pendidikan yang lebih luas. Pernyataan dari Kemendikbudristek bahwa pendidikan tinggi adalah kebutuhan tersier memicu kemarahan banyak pihak. Komisi X DPR dengan tegas menyatakan bahwa pernyataan tersebut ngawur dan mempertanyakan apakah orang miskin dilarang kuliah.
Kenaikan UKT di PTN juga dikaitkan dengan status PTN sebagai Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH), yang memiliki otonomi lebih besar dalam pengelolaan keuangan. Beberapa pengamat pendidikan menyebut bahwa PTNBH memacu PTN untuk mengejar otonomi keuangan, sehingga menaikkan UKT secara signifikan.
Baca juga:
- Rakernas V PDIP Rekomendasikan Revisi Permendikbud Terkait UKT PTN
- Ingatkan PTN Dibangun Pakai Duit Rakyat, Prabowo Sebut UKT Harusnya Murah Atau Gratis
- Tanggapi Naiknya UKT dan Uang Pangkal, Wapres Minta Bebannya Dibagi Pemerintah-Mahasiswa-Kampus
- Mendikbud Nadiem Janji Hentikan Kenaikan UKT yang Tak Wajar
Dilansir dari kompas, sebagai contoh, tahun 2024 ini, Universitas Indonesia (UI), uang pangkal untuk mahasiswa jalur mandiri di prodi Kedokteran mencapai Rp 161 juta. Institut Pertanian Bogor (IPB), Prodi S1 Manajemen: UKT mencapai Rp 12 juta, dari sebelumnya Rp 10 juta. Prodi S1 Kedokteran: UKT naik dari Rp 20 juta menjadi Rp 25 juta. Atau Universitas Riau (Unri), Jurusan Kedokteran: UKT maksimal naik dari Rp 23.400.000 menjadi Rp 38.300.000. Itu cuma beberapa contoh. Beberapa kampus negeri lain juga ada kenaikan UKT dengan angka yang bervariasi tergantung program studinya.
Kasus kenaikan UKT di beberapa PTN menunjukkan adanya ketidakselarasan antara tujuan otonomi kampus dan kemampuan finansial mahasiswa. Muhadjir Effendy, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, meminta penjelasan dari Kemendikbud terkait kenaikan mendadak tersebut.
Dari serangkaian peristiwa ini, jelas terlihat bahwa kebijakan pendidikan yang seharusnya mengedepankan aksesibilitas dan keadilan malah memicu ketidakpuasan dan protes. Kenaikan UKT mencerminkan berbagai masalah struktural dalam sistem pendidikan tinggi kita. Pertama, melihat kebijakan pendidikan dari perspektif ekonomi rakyat, di mana pendidikan tinggi seharusnya dapat diakses oleh semua kalangan tanpa terkecuali. Kedua, peran pemerintah dalam menjamin pendidikan yang terjangkau, mengingat PTN dibangun dari dana publik. Ketiga, implikasi otonomi kampus terhadap biaya pendidikan yang harus ditanggung mahasiswa.
Sebagai negara yang menjunjung tinggi pendidikan untuk semua, kebijakan yang memberatkan justru mengkhianati prinsip tersebut. Pendidikan adalah hak, bukan privilese atau hak istimewa. Saat akses pendidikan tinggi terhambat oleh biaya, kita kehilangan potensi generasi penerus bangsa yang seharusnya menjadi inovator masa depan.
Jadi, perlu ada evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan UKT di PTN. Pemerintah harus mencari solusi yang adil dan bijak, yang tidak hanya mempertimbangkan keberlanjutan finansial kampus, tetapi juga daya beli dan hak pendidikan rakyat. Hanya dengan begitu, kita dapat memastikan bahwa pendidikan tinggi benar-benar menjadi jembatan menuju masa depan yang lebih baik bagi semua anak bangsa.
Seperti dikatakan Presiden terpilih Prabowo Subianto, jangan berpikir semua bisa menjadi market. Pendidikan adalah public goods. Kewajiban sosial bagi suatu negara.