Menanti Langkah Polri Usai Irjen Napoleon dan Brigjen Prastetijo Divonis Penjara Kasus Red Notice Joko Tjandra

JAKARTA - Dua Jenderal Polri, Irjen Napoleon Bonaparte dan Brigjen Prasetijo Utomo sudah dinyatakan majelis hakim secara sah bersalah karena menerima suap penghapusan nama Joko Tjandra dari daftar red notice. Sehingga, banyak pihak yang meminta Polri segera mengambil langkah untuk memecat keduanya.

Salah satu pihak yang mendorong Polri agar mengambil langkah tegas yakni, Indonesia Corruption Watch (ICW). Alasannya, tentu kedua jenderal itu sudah dinyatakan bersalah.

Meski, putusan pengadilan belum inkrah karena Irjen Napoleon Bonaparte dan Brigjen Prasetijo Utomo masih bisa melakukan upaya hukum dengan mengajukan banding.

"ICW juga mendesak agar Kepolisian Republik Indonesia melakukan pemberhentian tidak dengan hormat," ucap Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangannya, Kamis, 11 Maret.

Di sisi lain, ICW juga menyoroti vonis penjara yang dijatuhi oleh majelis hakim. Kurnia berpendapat hukuman untuk mereka terlalu rendah. Seharusnya, kedua Jenderal polisi itu divonis penjara seumur hidup.

"ICW beranggapan vonis yang pantas dijatuhkan kepada Prasetijo dan Napoleon adalah penjara seumur hidup. Keduanya juga layak diberi sanksi denda sebesar Rp1 miliar," kata Kurnia.

Selain itu, Kurnia juga menyoroti penggunaan Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Tipikor yang maksimal hukumannya hanya lima tahun penjara. Seharusnya, dalam perjara itu majelis hakim mempertimbangkan penggunaan Pasal 12 huruf a Undang-Undang Tipikor. Sebab, ancaman pidannya jauh lebih berat dengan maksimal penjara seumur hidup.

"Setidaknya ada beberapa alasan mengapa Prasetijo dan Napoleon layak dihukum maksimal. Pertama, ketika melakukan kejahatan mereka mengemban profesi sebagai penegak hukum. Tentu, praktik suapmenyuap yang ia lakukan dengan sendirinya meruntuhkan citra Polri di mata masyarakat," ucap Kurnia.

"Kedua, Prasetijo dan Napoleon selaku penegak hukum malah bekerjasama dengan buronan. Dalam fakta persidangan terungkap Prasetijo membantu istri Joko Tjandra membuat surat yang ditembuskan ke Interpol Polri dan ia juga bersurat ke Anna Boentaran terkait informasi red notice Joko Tjandra. Sedangkan Napoleon sendiri dianggap terbukti menyurati Dirjen Imigrasi agar status daftar pencarian orang Joko Tjandra dihapus," sambung dia.

Alasan terakhir, perbutaan keduanya berdampak bersar pada sisi penegakan hukum. Maksudnya, mereka menghambat Joko Tjandra untuk dijebloskan ke penjara atas kasus cessie Bank Bali.

Senada, komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Peongky Indarti juga sepakat agar Polri segera memberikan sanksi Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) kepada kedua jenderal tersebut.

Hanya saja, dalam pemberian sanski itu mesti melalui prosedur yakni, dengan menggelar sidang kode etik Polri. Hal ini juga sejalan dengan Peraturan Kapolri (Pekap) nomor 14 tahun 2011.

"Kompolnas mendorong dijatuhkannya sanksi etik terberat berupa PTDH," ucap Poengky.

Salah satu alasan Kompolnas karena kedua jenderal itu sudah mencoreng nama baik istitusi Polri. Terlebih, perbuatan mereka itu telah mencerminkan keterlibatan dengan mafia hukum.

"Sejak awal sudah kami sebut mafia hukum karena melibatkan oknum penegak hukum dari berbagai institusi. Ada polisi, jaksa, pengacara, ASN," tegas Poengky.

Hanya saja, Polri sampai saat ini belum mau berkomentar lebih jauh mengenai putusan Irjen Napoleon Bonaparte dan Brigjen Prasetijo Utomo terkait kasus suap penghapusan red notice Joko Tjandra.

Alasannya, proses hukum keduanya belum selelsai. Di mana masih ada yang mengajukan banding atas putusan ini, yakni Irjen Napoleon Bonaparte. Dia masih tidak terima dengan putusan ini.

"Ya tentunya kami wajib menghargai keputusan pengadilan, pada sisi lain pun yang bersangkutan masih memiliki upaya hukum lain," ucap Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Rusdi Hartono.

Dengan begitu, Rusdi kembali menegaskan Polri akan menghargai semua upaya hukum yang dilakukan Irjen Napoleon Bonaparte dan Brigjen Prasetijo Utomo.

Sebab, upaya hukum merupakan hak dari mereka. Sehingga, Polri sejauh ini hanya akan memonitor perkembangan persidangan.

"Kita hargai itu. Pengadilan kita hargai, upaya-upaya yang bersangkutan juga perlu kita hargai," tandas dia.

Sebagai informasi, Irjen Napoleon Bonaparte divonis bersalah telah menerima suap sebesar 200 ribu dolar Singapura dan 370 ribu dolar Amerika Serikat (AS). Sehingga, majelis hakim menjatuhkan hukuman pidana 4 tahun penjara. Hanua saja, dia mengajukan banding atas putusan tersebut.

Sedangkan, Brigjen Prasetijo Utomo divonis pidana penjara selama 3 tahun 6 bulan. Sebab, dia terbukti menerima uang sebesar 100 ribu dolar AS. Brigjen Prasetijo pun menerima putusan itu dan memilih tak mengajukan banding.