BI-Rate Diprediksi Bertahan di Level 6,25 persen hingga Akhir Tahun 2024
JAKARTA - Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede memperkirakan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) atau BI-Rate di level 6,25 persen bertahan hingga akhir tahun 2024.
"Kami memperkirakan BI akan mempertahankan BI-rate di level saat ini di 6,25 persen hingga akhir 2024," jelasnya kepada VOI, Selasa, 21 Mei.
Menurut Josua dengan mempertimbangkan risiko dari skenario kebijakan The Fed yang higher for longer. Hal ini menunjukkan bahwa kemungkinan penurunan suku bunga akan terbuka pada tahun 2025.
Josua melihat kondisi pasar keuangan di bulan Mei mulai menunjukkan perbaikan, didukung oleh meredanya kekhawatiran akan konflik geopolitik di Timur Tengah dan perkembangan data ekonomi Amerika Serikat, terutama tren penurunan inflasi AS.
Walaupun pada bulan April 2024, tekanan di pasar keuangan global meningkat yang akhirnya memaksa BI untuk menaikkan BI-rate sebesar 25 bps menjadi 6,25 persen.
Josua menyampaikan data inflasi Indonesia di bulan April 2024, bertepatan dengan perayaan Idul Fitri, mulai menurun. Oleh sebab itu, dampak musiman dari peningkatan permintaan diimbangi oleh peningkatan pasokan makanan karena musim panen.
Namun, Josua menyampaikan risiko dari eksternal dan domestik tetap ada. Secara global, sinyal dari banyak pejabat The Fed masih menunjukkan sinyal bahwa The Fed tidak terburu-buru menurunkan suku bunga kebijakan FFR meskipun proses disinflasi di AS masih berlanjut.
"Hal ini dapat membatasi sentimen risk on yang saat ini sedang meningkat dan dengan demikian membatasi potensi aliran modal masuk," tuturnya.
Baca juga:
Selain itu, Josua menyampaikan penyempitan surplus perdagangan yang berimplikasi pada pelebaran defisit neraca transaksi berjalan di kuartal I 2024 juga menjadi perhatian.
Menurut Josua risiko pelebaran defisit akan berlanjut di kuartal II 2024, terutama didorong oleh pola musiman dari puncak pembayaran instrumen keuangan Indonesia kepada non-residen di setiap kuartal kedua.
"Oleh karena itu, permintaan domestik terhadap dolar AS tetap tinggi, sehingga menimbulkan risiko terhadap stabilitas nilai tukar Rupiah," ujarnya.