Sebut Pendidikan Tinggi Kebutuhan Tersier adalah Pernyataan Ngawur dari Kemendikbudristek
JAKARTA – Pernyataan pejabat Kemendikbudristek soal pendidikan tinggi adalah kebutuhan tersier menimbulkan polemik. Pengamat pendidikan mendesak agar pendidikan, termasuk jenjang pendidikan tinggi, sebagai public good.
Mahalnya biaya pendidikan, termasuk uang kuliah tunggal (UKT) yang mengalami kenaikan di sejumlah perguruan tinggi negeri, masih menjadi gonjang-ganjing. Hal ini diperparah dengan pernyataan Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek Tjitjik Sri Tjahjandarie.
"Dari sisi yang lain kita bisa melihat bahwa pendidikan tinggi ini adalah tertiary education. Jadi bukan wajib belajar. Artinya tidak seluruhnya lulusan SLTA, SMK itu wajib masuk perguruan tinggi. Ini sifatnya adalah pilihan," ucap Tjitjiek dalam video yang ramai dibicarakan di media sosial X.
Pernyataan Tjitjik ini mengundang kecaman dari berbagai pihak, termasuk pengamat pendidikan Ubaid Matraji. Ia mengatakan, apa yang dilontarkan Tjitjiek bahwa pendidikan tinggi adalah kebutuhan tersier bertentangan dengan amah Undang-Undang Dasar 1945.
Menciutkan Mimpi Anak Bangsa
Dalam beberapa pekan ke belakang, masyarakat dijejali dengan kabar kurang mengenakkan terkait kenaikan harga UKT di sejumlah universitas. Kenaikannya tak tanggung-tanggung, ada yang sampai 500 persen, seperti yang dialami perwakilan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Seluruh Indonesia (SI) dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Maulana Ihsanul.
"Yang kita resahkan UKT di Unsoed ini naik melambung sangat jauh sendiri, naik bisa 300 sampai 500 persen," ujar Maulana saat mengadu ke Komisi X DPR di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (16/5/2024).
Maulana bukan satu-satunya mahasiswa yang resah dengan kenaikan UKT. Keberatan juga disampaikan mahasiswa Universitas Riau (Unri) Khariq Anhar, yang berujung dipolisikan oleh rektornya sendiri, Prof Indarti, meski akhirnya laporan tersebut dicabut.
Belum lagi kabar yang membuat gempar pada Januari 2024, ketika Institut Teknologi Bandung (ITB) menyediakan skema pembayaran UKT berupa cicilan plus bunga melalui platform pinjaman online Danacita setelah sejumlah mahasiswanya keberatan membayar kuliah.
Penyataan Tjitjik Sri Tjahjandarie menurut Ubaid Matraji tidak hanya melukai perasaan masyarakat, tapi juga menciutkan mimpi anak bangsa untuk duduk di bangku kuliah.
“Meletakkan pendidikan tinggi sebagai kebutuhan tersier adalah salah besar. Jika PT adalah kebutuhan tersier, lalu negara lepas tangan soal pembiayaan, bagaimana dengan nasib pendidikan dasar dan menengah (yang masuk program Wajib Belajar 12 Tahun) yang merupakan kebutuhan primer, apakah pemerintah sudah membiayai?” kata Ubaid dalam keterangan yang diterima VOI.
Ubaid melanjutkan, pembiayaan yang dilakukan pemerintah untuk program Wajib Belajar 12 Tahun hanya melalui Bantuan Operasional Sekolah atau BOS, bukan pembiayaan penuh. Akibatnya, jumlah anak tidak sekolah (ATS) menggunung.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), ATS masih ditemukan di setiap jenjang, mulai dari SD (0,67 persen), SMP (6,93 persen), dan SMA/SMK (21,61 persen).
Data ATS untuk perguruan tinggi lebih mengenaskan. Berdasarkan data BPS pada Maret 2023, hanya ada 10,15 persen penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas yang sudah menamatkan pendidikan sampai jenjang perguruan tinggi. Menurut Ubaid hal ini terjadi karena biaya pendidikan yang mahal. Apalagi jika pemerintah menganggap PT sebagai kebutuhan tersier.
“Artinya, sekolah di Indonesia hari ini masih berbayar, dan pendidikan bebas biaya seperti diamanahkan oleh UUD 1945 (Pasal 31) dan UU Sisdiknas (Pasal 34), masih sebatas retorika omon-omon,” Ubaid melanjutkan.
Merepresentasikan Kemendikbudristek
Pendidikan adalah hal yang menyangkut hajat hidup dan kebutuhan seluruh warga negara yang harus dipenuhi. Untuk itu, menyebut pendidikan tinggi sebagai kebutuhan tersier adalah salah kaprah.
Ubaid selaku Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menuntut pemerintah mengembalikan pendidikan, termasuk pendidikan tinggi, sebagai public good dan menolak segala bentuk komersialisasi PT, terutama PTNBH.
“Siapa yang bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan itu? Amanah ini jelas termaktub dalam pembukkan UUD 1945 alinea 4, yang menyatakan bahwa, salah satu tujuan utama berdirinya NKRI ini adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa,” lanjutnya.
Ia melanjutkan, dalam rangka menuju bangsa yang cerdas dan berdaya saing global, pendidikan sampai SMA/SMK tidak cukup. Anak-anak Indonesia harus bisa mendapat layanan pendidikan hingga perguruan tinggi.
Selain memperluas wawasan dan pengetahuan, menempuh pendidikan tinggi juga membantu meningkatkan kemampuan berpikir kritis, memperkuat keterampilan komunikasi, meningkatkan jaringan sosial, sampai meningkatkan peluang karier.
Pernyataan Tjitjik juga mendorong pengamat semiotika bahasa dari ITB Acep Iwan Saidi angkat bicara. Ia menilai menyebut kuliah sebagai tertiary education atau pilihan adalah ucapan ngawur.
Menurutnya, pernyataan itu merupakan ekspresi semiotis dari birokrat yang sama sekali tidak memahami dunia pendidikan.
"Analoginya, seperti karyawan toko buku, yang hanya tahu buku itu barang dagangan, barang kelontongan," kata Acep.
Baca juga:
Tak hanya itu, Tjitjik juga dinilai tidak memiliki pikiran tentang bagaimana hubungan pendidikan dengan pembangunan bangsa dan pembangunan manusia. Ekspresi itu juga bisa dianggap sebagai representasi Kemendikbudristek secara umum, karena sekarang ini pendidikan cenderung condong ke industri, alih-alih mencerdaskan bangsa.
“Ini setback (kemunduran) ke repelita pertama Orde Baru di mana pendidikan diposisikan sebagai investasi keterampilan. Pendidikan kita hari ini adalah pendidikan yang mengikuti arus, bukan menata apalagi melawan arus. Ngawur,” pungkas Acep.