Kemendikbud Sebut Perguruan Tinggi Pendidikan Tersier, Komisi X DPR: Apa Orang Miskin Dilarang Kuliah?
JAKARTA - Ketua Komisi X DPR, Syaiful Huda mempertanyakan pernyataan Sekretaris Dirjen Pendidikan Tinggi Kemendikbud Ristek, Tjitjik Sri Tjahjani yang menyebut perguruan tinggi sebagai pendidikan tersier. Menurutnya, pernyataan itu menebalkan persepsi jika pendidikan tinggi bersifat elitis dan hanya untuk kalangan tertentu saja.
“Kami prihatin dengan pernyataan Prof Tjitjik bahwa perguruan tinggi merupakan pendidikan tersier yang bersifat opsional atau pilihan. Bagi kami pernyataan itu kian menebalkan persepsi jika orang miskin dilarang kuliah," ujar Ketua Komisi X DPR RI, Syaiful Huda, kepada wartawan, Sabtu, 18 Mei.
"Bahwa kampus itu elit dan hanya untuk mereka yang punya duit untuk bayar Uang Kuliah Tunggal,” sambungnya.
Menurut Huda, pernyataan perguruan tinggi adalah pendidikan tersier benar namun kurang tepat. Apalagi hal itu disampaikan oleh pejabat publik yang mengurusi pendidikan tinggi dalam forum resmi temu media untuk menanggapi protes kenaikan UKT di sejumlah perguruan tinggi negeri.
“Kalau protes kenaikan UKT direspons begini ya tentu sangat menyedihkan,” katanya.
Wasekjen PKB itu menegaskan, pernyataan itu juga bisa dimaknai bahwa pemerintah lepas tangan terhadap nasib mereka yang tidak punya biaya tapi ingin kuliah. Padahal, kata Huda, di sisi lain pemerintah gembar-gembor ingin mewujudkan Indonesia Emas 2045 dan ingin memanfaatkan bonus demografi agar tidak menjadi bencana di kemudian hari.
“Tapi saat ada keluhan biaya kuliah yang tinggi dari mahasiswa dan masyarakat seolah ingin lepas tangan,” tegasnya.
Sebelumnya, Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek Tjitjik Sri Tjahjandarie menyebut pendidikan tinggi merupakan pendidikan tersier atau pilihan yang tidak masuk dalam wajib belajar 12 tahun. Pendidikan wajib di Indonesia saat ini hanya 12 tahun yakni dari SD, SMP hingga SMA.
Hal itu dikatakan Tjitjik merespons gelombang kritik terkait uang kuliah tunggal (UKT) di perguruan tinggi yang kian mahal.
Baca juga:
Tjitjik mengatakan, pendidikan tinggi di Indonesia belum bisa gratis seperti di negara lain. Sebab, bantuan operasional perguruan tinggi negeri (BOPTN) belum bisa menutup semua kebutuhan operasional.
Karena itu, menurutnya, biaya kuliah harus dipenuhi oleh mahasiswa agar penyelenggaraan pendidikan itu memenuhi standar mutu.
"Dari sisi yang lain kita bisa melihat bahwa pendidikan tinggi ini adalah tertiary education. Jadi bukan wajib belajar. Artinya tidak seluruhnya lulusan SLTA, SMK itu wajib masuk perguruan tinggi. Ini sifatnya adalah pilihan," kata Tjitjik di Kantor Kemendikbud, Rabu, 16 Mei.
"Siapa yang ingin mengembangkan diri masuk perguruan tinggi, ya itu sifatnya adalah pilihan, bukan wajib," imbuhnya.