Sayangnya Regulasi Kita Belum Siap Melindungi UMKM dari Predatory Pricing Barang Impor dan Praktik Culas Raksasa E-Commerce

JAKARTA - Dalam beberapa hari terakhir ajakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk membenci produk-produk luar jadi perbincangan. Jokowi geram terhadap praktik culas pedagang asing yang membanting harga di platform e-commerce yang mengancam bisnis Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Bisa dibilang masalah yang dikenal dengan sebutan predatory pricing itu sistemik, karena masalahnya bukan hanya pada seller asing dan produk impor, tapi juga ada di platform e-commercenya itu sendiri. Dan sayangnya, regulasi kita belum siap untuk membenahi itu semua. 

Tagar gerakan upaya menyelamatkan UMKM bergaung kembali di lini masa Twitter. sebelumnya warganet ramai-ramai membahas tagar #SellerAsingBunuhUMKM. Kemarin, tagarnya lebih spesifik yakni #BerantasPredatoryPricing. 

Mulanya polemik ini dipicu keberadaan seller asing yang dujuluki Mr HU asal China. Seller itu menjual produk yang didatangkan langsung dari luar negeri dengan harga yang lebih murah dari produk sejenis yang dijual seller dalam negeri. 

"Jika ada praktik perdagangan digital yang berperilaku tidak adil terhadap UMKM, harus segera diatur dan harus segera diselesaikan. Baru minggu kemarin saya sampaikan ke Pak Mendag, ini ada yang enggak benar ini di perdagangan digital kita. Membunuh UMKM, diperingatkan," ucap Presiden Jokowi, saat meresmikan pembukaan rapat kerja nasional Kementerian Perdagangan di Istana Negara, Jakarta, Kamis, 4 Februari.

Lebih lanjut, Jokowi mengatakan semua pihak harus membela, melindungi, dan memberdayakan UMKM agar naik kelas. Karena itu, gerakan nasional cinta produk lokal harus digelorakan.

"Ajakan-ajakan untuk cinta produk-produk kita sendiri harus terus digaungkan. Produk-produk dalam negeri digaungkan. Gaungkan juga benci produk-produk luar negeri. Bukan hanya cinta, tapi benci. Cinta barang kita, benci produk luar negeri," jelasnya.

Presiden RI, Joko Widodo. (Foto: Dok. Setkab)

UMKM terdampak

Bisnis e-commerce memang punya kontribusi signifikan bagi pereknomian Indonesia. Pada 2018 saja Bank Indonesia mencatat nilai transaksi di bisnis perdagangan daring itu mencapai lebih dari Rp77 triliun. Angka itu hasil dari peningkatan pesat transaksi e-commerce tahun sebelumnya sebesar 151 persen.

McKinsey & Company dalam laporannya punya gambaran betapa fantastisnya nilai bisnis e-commerce. Mereka memproyeksikan pada 2022 nilai transaksi e-commerce akan meroket lebih dari delapan kali lipat hingga mencapai Rp778-920 triliun. 

Itu baru dari sisi cuan. Dari sisi penyerapan tenaga kerja juga dampaknya luar biasa.  E-commerce mampu menyerap 4 juta pekerja dan diperkirakan akan meningkat menjadi sekitar 26 juta pada 2022. 

Namun, meskipun kontribusinya besar, e-commerce di Indonesia bukan tanpa tantangan. Kami mewawancarai Irfan, seorang pedagang masker dan celana buatan lokal di salah satu situs e-commerce terbesar di Indonesia. 

Irfan yang sudah kurang lebih setahun jualan online di e-commerce mengaku pada mulanya memang bisa meraup cuan besar di sana. Dalam empat bulan pertama dia berjualan, tak kurang dari 500 barang ludes terjual per harinya. Namun, setelah itu penjualannya amblas ketika barang impor serupa tiba-tiba muncul menjadi pesaingnya. 

"Tiba-tiba banyak produk impor yang jual barang serupa tapi lebih murah. Tadinya sehari bisa habis 500+ pcs tiba-tiba jadi puluhan pcs saja," kata Irfan kepada VOI

Dirinya mengeluh sebab saingannya yakni penjual masker medis impor, terlalu membanting harga. "Dan celana juga, masker medis yang impor juga ngebanting harga banget. Pas barang impor masuk kaya masker medisnya, masker lokal mulai berkurang peminatnya," ujarnya. 

Irfan bukan satu-satunya penjual yang merasakan kejamnya persaingan banting harga. Dalam survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) kepada 806 penjual online dan 820 pembeli online mengungkapkan 87,6 persen merasakan ketatnya persaingan harga. 54,8 persen para pedagang tersebut juga mengaku bersaing ketat dengan produk bermerek dan 44, 8 persen merasa kesulitan bersaing dengan produk impor. 

Ilustrasi (Sumber: Unsplash)

Banjir produk impor

Menurut data Kementerian Perindustrian yang dikutip survei LIPI pada 2019 mencatat produk yang dijual di e-commerce Indonesia 90 persennya memang barang impor. Kondisi ini menjadi kendala besar bagi produsen dalam negeri khususnya UMKM. 

Dalam laporan tersebut LIPI menyebut salah satu sumber barang-barang impor terbesar datangnya dari China. Di Indonesia, setidaknya ada tiga marketplace besar yang menyediakan fasilitas bagi penjual dari Negeri Panda untuk menjajakkan barangnya. Contohnya Lazada, yang memiliki platform khusus yang memungkinkan konsumen untuk belanja langsung dari e-commerce terbesar di China, Taobao.

Fasilitas serupa juga disediakan oleh Shopee dengan platform globalnya dan JD.ID yang bekerjasama dengan Jingdong. Selain itu, marketplace milik BUMN Blanja.com juga memfasilitasi pembei Indonesia untuk berbelanja di marketplace asal Amerika Serikat (AS), E-Bay. 

Tidak hanya itu, bahkan tanpa fasilitas dari marketplace Indonesia pun, konsumen Indonesia dapat mengimpor produk asing secara langsung dari platform e-commerce asing. Misalnya saja AliExpress, Taobao, dan Banggood dari Tiongkok, Amazon dan E-Bay dari AS, Rakuten dari Jepang, serta beberapa platform e-commerce dari negara lain. 

Masih menurut survei LIPI, setidaknya ada dua faktor mengapa impor produk lewat e-commerce begitu pesat. Pertama adalah karena produk tersebut tidak ada atau langka di dalam negeri, kedua karena barang impor lebih murah.

Predatory pricing adalah fenomena gunung es 

Peneliti Center of Innovation and Digital Economy Institute for Developments of Economic and Finance (Indef) Media Wahyudi Askar melihat predatory pricing hanyalah salah satu dari sederet masalah yang ada di e-commerce yang dapat mengancam UMKM. Menurutnya, masalah besar e-commerce adalah ketika platform e-commerce juga bertindak sebagai kompetitor di dalam platform tersebut.

Sebab, skema itu kata Media bisa menimbulkan perdagangan yang tidak adil dan memunculkan konflik kepentingan. "Di mana penyedia platform termasuk investor dan entitas di dalamnya juga menjadi pebisnis di platform tersebut dan menjadi kompetitor untuk pebisnis lainnya," katanya saat dihubungi VOI.

Menurut Media struktur kepemilikan raksasa e-commerce Indonesia yang berasa dari investor luar negeri juga turut berkepentingan menjual barang dagangannya. "Hal ini yang memunculkan predatory pricing sehingga kemudian memukul sektor UMKM."

Banting harga atau predatory pricing menurut Media baru salah satu dari banyaknya masalah di e-commerce. Misalnya saja soal penggunaan data dan algoritma e-commerce untuk menganalisis perilaku konsumen yang tidak dibuka pada pedagang lain. Belum lagi soal berbagai perjanjian eksklusif yang dilakukan e-commerce dan diskon besar-besaran. 

Oleh karena itu, "UMKM jelas sulit untuk bersaing, karena adanya potensi diskriminasi dan bias dalam rangking produk yang dijual... Saat ini produk impor bukan bersaing dengan UMKM, tapi lebih tepatnya, bersaing sesama produk impor. Hanya sedikit UMKM yang bisa kompetitif di pasar e-commerce," kata Media.

Sayangnya, masih menurut Media, dari segi regulasi Indonesia belum siap untuk mengatasi ini. Padahal untuk bisa mendukung produk UMKM perlu ada regulasi dari hulu ke hilir. 

Mengenai regulasi e-commerce, isu produk impor dan UMKM, menurut Media harus berdasarkan sektor. Soal predatory pricing, utamanya di sektor makanan minuman, serta komoditas furniture dan tekstil kata Media harus dilarang. 

"Sebab, hampir sebagian besar sektor ini didominasi oleh produk lokal dan UMKM. KPPU harus menginvestigasi praktik predatory pricing berupa diskon besar-besaran produk e-commerce serta menjamin adanya keadilan bagi setiap pelaku pasar. Regulasi yang dibuat harus berisikan mekanisme punishment yang jelas bagi pelaku usaha yang melakukan predatory pricing tersebut," ujarnya.

Selain itu, regulasi lain yang perlu diatur adalah terkait peningkatan akses modal, regulasi terkait akses pasar, hingga regulasi yang mendorong dukungan berupa pendampingan. "Intervensi lainnya dari regulasi juga dapat dilakukan berupa insentif bagi produk e-commerce lokal terutama dengan intervensi berbasis pelatihan, penyediaan akses dan lapak khusus, serta membangun kolaborasi bisnis UMKM berbasis triple helix," pungkasnya.

BERNAS Lainnya