Kasus Mayat Perempuan dalam Koper: Terminologi Femisida Masih Awam di Telinga Masyarakat
JAKARTA – Kasus penemuan mayat seorang perempuan di dalam sebuah koper di Cikarang menghebohkan publik. Di tengah gencarnya fenomena femisida, psikolog Reza Indragiri Amriel menyebut dalam kasus ini motif pembunuhan bukan hanya karena gender.
Warga di kawasan Cikarang Barat dikejutkan dengan penemuan koper berisi mayat perempuan di Jalan Inspeksi Kalimalang Sukadanau, Kabupaten Bekasi, pada 25 April 2024. Mayat perempuan itu berinisial RM (50), dan saat ditemukan jasad korban dalam kondisi utuh, tapi terdapat sejumlah luka dan cedera di kepala sebelah kiri serta memar di bibir.
Polisi tak butuh waktu lama menangkap pelaku. Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes (Pol) Ade Ary Syam Indradi menjelaskan, pelaku AARN (29) ditangkap di Palembang, Sumatra Selatan.
Berdasarkan keterangan polisi, pelaku dan korban sempat melakukan hubungan badan sebelum terjadi aksi pembunuhan tersebut. Keduanya dilakukan di tempat yang sama, di hotel kawasan Bandung, Jawa Barat.
Pembunuhan karena Gender
Fakta bahwa korban adalah seorang perempuan paruh baya, membawa masyarakat mengingat kembali soal maraknya fenomena femisida yang terjadi akhir-akhir ini. Istilah femisida mungkin masih terdengar asing di kalangan masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan.
Komnas Perempuan memberikan rumusan pengertian femisida sebagai pembunuhan yang dilakukan secara sengaja terhadap perempuan karena jenis kelamin atau gendernya, yang didorong oleh adanya perasaan superior, dominasi, maupun misogini terhadap perempuan, rasa memiliki terhadap perempuan, ketimpangan kuasa, dan kepuasan sadistik.
Kasus pembunuhan terhadap perempuan harus menjadi perhatian. Pasalnya, hal ini sangat sering terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Pada Desember 2023, seorang suami berinisial JM (61) membunuh dan memutilasi istrinya, NMS (55), di Kota Malang, Jawa Timur. Pembunuhan diduga karena permasalahan rumah tangga. Komnas Perempuan menyebut kasus ini termasuk kategori femisida.
"Dalam perspektif hak asasi perempuan, pembunuhan seperti kasus tersebut sebagai femisida yaitu pembunuhan karena gendernya dan merupakan puncak kekerasan berbasis gender lainnya," kata Anggota Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi, disitat Antara.
Contoh kasus femisida lainnya adalah ketika seorang suami bernama Nando (25) tega membunuh istrinya, Mega (24), di rumah kontrakan mereka di Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Pembunuhan ini diawali dengan pertengkaran karena masalah ekonomi.
Belum lagi soal pembunuhan terhadap menantu perempuan yang dilakukan ayah mertuanya di Pasuruan, Jawa Timur. Ini bemula dari aksi pelaku yang berniat memperkosa korban.
Yang tak kalah menghebohkan adalah kasus kematian Dini Sera Afrianti (29) yang tewas setelah dianiaya kekasihnya, Gregorius Ronald Tannur (31).
Akibat Superioritas Laki-Laki
Femisida dapat terjadi karena berbagai sebab, di antaranya superioritas laki-laki berupa rasa cemburu, ketersinggungan maskulinitas, atau pertengkaran memuncak pada amarah.
Hal lain yang juga disebut menjadi penyebab terjadinya femisida adalah tekanan ekonomi, pasangan hamil di luar nikah, percobaan pemerkosaan, dan membela HAM.
Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, mengatakan meski istilah femisidah secara khusus baru menjadi bagian dalam Catatan Tahunan Komnas Perempuan sejak 2017, isu femisida bagi Komnas Perempuan bukan hal asing.
Baca juga:
- Perbedaan Penanganan Kasus Galih Loss dan Gilbert Lumoindong Bisa Bikin Publik Makin Tak Percaya Bhayangkara Negara
- Program Merdeka Belajar Belum Mampu Menjawab Persoalan Dasar Pendidikan
- Piala Thomas dan Uber 2024: Secercah Harapan untuk Regenerasi Bulu Tangkis Indonesia
- Isu Syiah Memecah Kubu Warganet dalam Polemik Serangan Iran ke Israel
Dalam konteks femisida, pembunuhan terhadap perempuan tidak bisa dipandang sebagai satu pembunuhan biasa, meski juga tidak semua pembunuhan terhadap perempuan dikategorikan sebagai femisida.
“Oleh karenanya Komnas Perempuan terus mengembangkan pengetahuan tentang femisida, termasuk dengan mengenali femisida tidak langsung, seperti bunuh diri yang dilakukan oleh korban kekerasan dalam rumah tangga atau korban kekerasan seksual,” jelas Andy.
Data Femisida Sangat Minim
Setelah dilakukan penangkapan, polisi mengatakan tersangka AARN membunuh RM karena motif sakit hati. Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Kombes Wira Satya Triputra menjelaskan, saat di dalam hotel tersangka dan korban melakukan hubungan intim.
Setelah itu terjadi pembicaraan RM meminta kejelasan hubungan mereka. Korban mendesak tersangka untuk bertanggung jawab untuk menikahi korban.
Di sisi lain, tersangka meminta korban untuk meminjam uang setoran Rp43 juta milik kantor sebagai syarat dinikahi. Uang tersebut rencananya digunakan pelaku untuk biaya resepsi pernikahan dia dengan istrinya. Tapi permintaan itu ditolak RM karena takut. Penolakan ini membuat keduanya cekcok, hingga berujung pembunuhan.
Melihat kronologi yang dijabarkan pihak kepolisian, psikolog forensik Reza Indragiri Amriel mengatakan pembunuhan yang dilakukan AARN terjadi karena ada hal-hal yang tidak sesuai dengan keinginan pelaku. Reza juga berpendapat insiden ini tidak termasuk salah satu praktik femisida.
“Ini terjadi karena pasangan tidak berperilaku layaknya yang diinginkan pasangannya,” kata Reza kepada VOI.
“Bukan (termasuk femisida). Di kepala pelaku, ia melakukan aksinya bukan karena sasarannya berjenis kelamin perempuan, tetapi karena tindakannya mengesalkan,” Reza mengimbuhkan.
Menentukan apakah sebuah kasus pembunuhan dengan korban perempuan apakah termasuk femisida atau bukan masih menjadi perhatian saat ini. Apalagi, istilah femisida belum populer di Indonesia.
Akibatnya, data terpilah antara pembunuhan umum dan femisida belum tersedia sehingga penanganannya minim. Padahal Andy Yentriyani menegaskan, hal ini penting untuk mencegah potensi kekerasan yang berpotensi berujung pada femisida, seperti KDRT yang berujung pembunuhan.