Korban Prank Bisa Seret Kreator Konten ke Penjara jika Dirugikan
JAKARTA – Sebuah konten yang dibuat akun @galihloss baru-baru ini meresahkan masyarakat. Konten prank atau eksperimen sosial yang dibuat YouTuber tersebut dinilai sangat merugikan korbannya.
Belum lama ini muncul video yang memperlihatkan bagaimana seleb TikTok Galih Loss berusaha mengerjai driver ojek online. Merasa terganggu dengan si content creator, driver ojol ini kemudian berteriak dan memanggil petugas keamanan. Namun di saat yang sama, si pembuat konten mengaku menjadi korban begal motor. Beruntung pihak keamanan tidak terpancing oleh klaim pembuat konten.
Warganet menilai konten yang dibuat akun @galihloss meresahkan dan membahayakan. Apalagi, keselamatan korban terancam seandainya orang yang berada di lokasi sekitar terpancing oleh teriakan Galih yang menyebut driver ojol sebagai begal.
Sebenarnya ini bukan kali pertama konten meresahkan viral di media sosial. YouTuber Ferdian Paleka juga sempat dihujat warganet pada 2020 gara-gara konten prank-nya.
Dalam video yang diunggahnya, Ferdian memberikan sembako kepada seorang waria. Tapi ketika dibuka bingkisan yang diberikan Ferdian ternyata bukan sembako betulan, melainkan berisi sampah. Kontennya dianggap keterlaluan dan dia mendapat hujatan netizen.
Bisa Dianggap Penghinaan
Meski sudah meminta maaf dan menarik video unggahannya, netizen terlanjur geram dengan kelakuan Galih. Apalagi setelah ditelisik hampir semua konten buatannya tidak edukatif dan meresahkan. Kolom komentar Galih penuh dengan kemarahan warganet, bahkan sampai menuntut supaya si pembuat konten diamankan polisi.
Apakah memungkinkan seseorang menuntut YouTuber yang melakukan prank kemudian direkam dan videonya diunggah tanpa izin korban?
Prank menurut laman Cambridge Dictionary diartikan sebagai tipuan atau perbuatan jahil terhadap seseorang dengan tujuan untuk menjadi bahan candaan/guyonan tetapi tidak menyebabkan bahaya atau kerusakan.
Konten prank yang banyak bertebaran akhir-akhir ini cukup meresahkan masyarakat. Menurut pengamat hukum pidana Farizal Pranata Bahri, konten prank atau eksperimen sosial sebenarnya boleh saja dilakukan selama tidak ada norma hukum yang dilanggar, baik itu asusila, agama, atau hukum yang berlaku.
Tapi konten prank menjadi masalah ketika di dalamnya ternyata melanggar norma seperti yang disebutkan di atas.
Farizal menambahkan, jika korban merasa keberatan dengan video prank yang diunggah seorang content creator, maka korban dapat mengajukan keberatan secara perdata dengan menggugat perbuatan melawan hukum.
“Untuk ranah pidana dapat dituntut dengan Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), UU Pornografi dan undang-undang lainnya sepanjang ada unsur pidana yang dilanggar,” ujar Farizal kepada VOI.
“Khusus UU ITE, apabila ini tentang pribadi korban yang ternyata selama proses video itu memuat kerugian terhadap pribadinya, maka dapat dilaporkan secara pidana,” imbuhnya.
Sementara itu, dikutip Hukum Online, tindakan YouTuber dapat dikategorikan sebagai tindakan penghinaan atau pencemaran nama baik diatur dalam Pasal 310 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Baca juga:
- Guyonan Ivan Gunawan dan Saipul Jamil Soal Kekerasan Seksual adalah Sikap Nirempati, Tolol, dan Sangat Menjijikan
- Serangan Rudal Iran ke Teritori Israel adalah Awal Perang Dunia III?
- Dilema Balon Udara Lebaran: Perlukah Tradisi yang Membahayakan Dipertahankan?
- Polemik Jersei Timnas Indonesia dalam Pantauan Perbincangan Media Sosial X
Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal dalam penjelasan Pasal 310 KUHP menerangkan bahwa “menghina” adalah “menyerang kehormatan dan nama baik seseorang”. Yang diserang ini biasanya merasa “malu”, dan “kehormatan” yang diserang di sini hanya mengenai kehormatan tentang “nama baik”, bukan “kehormatan” dalam lapangan seksuil, kehormatan yang dapat dicemarkan karena tersinggung anggota kemaluannya dalam lingkungan nafsu birahi kelamin.
Masih diterangkan R. Soesilo, supaya dapat dihukum menurut pasal ini, maka penghinaan itu harus dilakukan dengan cara “menuduh seseorang telah melakukan perbuatan tertentu” dengan maksud agar tuduhan itu tersiar (diketahui oleh orang banyak). Perbuatan yang dituduhkan itu tidak perlu suatu perbuatan yang boleh dihukum seperti mencuri, menggelapkan, berzina dan sebagainya, cukup dengan perbuatan biasa, sudah tentu suatu perbuatan yang memalukan.
Kasus Ferdian Paleka
Farizal menjelaskan pasal yang mengatur mengenai penghinaan dan pencemaran nama baik melalui media elektronik (video) diatur dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE, yang berbunyi setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Sedangkan ancaman pidana bagi orang yang melanggar Pasal 27 ayat (3) UU ITE ini diatur dalam Pasal 45 ayat (3) UU 19/2016.
Galih dan para YouTuber lainnya harus lebih berhati-hati dalam membuat konten. Ancaman pelaporan dari korban yang dikenai prank sangat mungkin terjadi, sebagaimana yang dialami Ferdian Paleka. YouTuber asal Bandung ini pernah diseret ke penjara pada Mei 2020 setelah waria yang menjadi korban prank-nya melapor ke polisi.
Meski sempat kabur, Ferdian berhasil ditangkap di Pelabuhan Merak, Banten, bersama teman dan pamannya. Usai ditangkap, ia langsung digelandang ke sel tahanan Polrestabes Bandung.
Berselang satu bulan, Ferdian Paleka bersama dua rekannya dinyatakan bebas berkat upaya perdamaian antara dia dan korban yang difasilitasi pengacara.
Apa yang terjadi pada Ferdian Paleka seharusnya menjadi pembelajaran bagi para YouTuber lainnya agar lebih berhati-hati dalam membuat konten. Intinya, jangan sampai konten yang dibuat merugikan orang lain.