Naturalisasi Gencar tapi Pembinaan Ambyar, Yakin Prestasi Bisa Dikejar?

JAKARTA – Proyek naturalisasi pemain keturunan yang diyakini mampu mendongkrak prestasi Tim Nasional Indonesia selalu memunculkan pertanyaan baru. Bagaimana nasib pembinaan pemain usia dini?

Persatuan Sepak Bola Indonesia (PSSI) belakangan ini tengah gencar melakukan naturalisasi. Tujuannya adalah untuk mengerek prestasi timnas di kancah internasional.

Cristian Gonzales menjadi pemain naturalisasi pertama di Indonesia, sebelum akhirnya diikuti pemain asing lain untuk mengikuti program serupa demi bisa berseragam Merah Putih.

Pemain dan Official Persab Brebes, Jawa Tengah, merayakan kemenangan juara Piala Soeratin U17 setelah pada partai final mengalahkan Askot Balikpapan dengan skor 4-1.(Humas Persab Brebes)

Namun proyek naturalisasi makin gencar dijalankan di era kepelatihan Shin Tae-yong. Katanya, si pelatih itu sendiri yang meminta supaya PSSI menaturalisasi pemain keturunan karena pemain lokal dinilai tak memenuhi standar.

Di era STY, ada 11 pemain yang dinaturalisasi. Mereka adalah Marc Klok, Jordi Amat, Sandy Walsh, Shayne Pattynama, Ivar Jenner, Rafael Struick, Justin Hubner, Jay Idzes, Thom Haye, Nathan Tjoe-A-On, dan Ragnar Oratmangoen. Namun perlu dicatat, Marc Klok tak termasuk proyek rekomendasi STY karena sudah mengurus proses naturalisasi sejak 2019.

Langkah ini kemudian menimbulkan pro dan kontra, meski semua tahu tujuan akhirnya adalah untuk mendongkrak prestasi timnas. Publik menuntut solusi jangka panjang dari PSSI supaya prestasi timnas juga bisa dirasakan secara konsisten pula. Pembinaan pemain usia dini yang seharusnya menjadi pondasi, terkesan menjadi anak tiri sekarang ini.

Solusi Jangka Pendek

Kehadiran STY di kursi pelatih timnas dinilai cukup sukses mendongkrak prestasi timnas, setidaknya itu yang dirasakan sejauh ini. Indonesia berhasil menembus babak 16 besar Piala Asia untuk pertama kali sepanjang sejarah pada Januari 2024. Pada peringkat FIFA terkini, skuad Garuda juga sukses menduduki peringkat 134 dunia. Mengutip Kompas, ini menjadi pencapaian tertinggi timnas sejak 2011, ketika Merah Putih berada di urutan ke-125 pada tahun terakhir.

Seiring dengan prestasi timnas yang pelan-pelan meningkat, animo suporter terhadap permainan Justin Hubner dan kawan-kawan juga melonjak.

Tapi, mau sampai kapan Indonesia mengandalkan program naturalisasi? Mantan pemain Timnas Indonesia yang kini menjadi bagian kepengurusan kepelatihan skuad Garuda, Nova Arianto, mengakui bahwa naturalisasi adalah solusi jangka pendek. Sementara untuk jangka panjang, pembinaan usia muda harus dijalankan sebaik mungkin.

“Kalau dari jangka pendeknya, kalau ingin berprestasi kan masalah pemain naturalisasi ya, itu menurut saya sebagai jangka pendek tapi jangka panjangnya kita harus menyiapkan pemain-pemain muda kita," ungkap Nova dikutip dari kanal YouTube Si Paling Timnas.

Pelatih Malut United FC Imran Nahumarury. (Instagram/@imran_nahumarury)

"Menyiapkan dari secara mental, fisik, skill, agar apa? Agar nanti siap di jangka panjangnya siap jadi tulang punggung Tim Nasional, dan itu harus, ya kita harus sama-sama mempersiapkannya dari sekarang, bukan teknik aja, tapi bagaimana mental-mental itu bisa lebih siap lagi," imbuh mantan bek andalan Persib Bandung tersebut.

Saat ini PSSI diketahui sudah menjalankan kompetisi di usia dini, seperti EPA U-16, U-18 dan U-20. Selain itu beberapa Asprov PSSI juga menggulirkan Piala Soeratin U-17. Belum lagi kompetisi usia dini yang dijalankan swasta seperti Liga Kompas maupun Liga Top Skor.

Imran Nahumarury, mantan pemain yang kini melatih klub Liga 2 Malut United, mengatakan pembinaan pemain usia dini merupakan program jangka panjang untuk prestasi timnas. Tapi jalan ini juga dinilai masih belum maksimal karena memiliki sejumlah tantangan.

Imran menilai pembinaan usia muda tidak berjalan sesuai harapan untuk berkontribusi ke timnas karena dipengaruhi beberapa hal, mulai dari infrastuktur yang tak memadai hingga lingkungan.

Youth competition sebenarnya memberikan kesempatan kepada para pemain muda sejak dini, tapi ini juga ditentukan oleh banyak hal, seperti lingkungan, coaching education, infrastruktur seperti lapangan dan lain sebagainya,” kata Imran kepada VOI.

“Lingkungan menjadi salah satu alasan kenapa Indonesia terlihat kesulitan mencari bibit pemain berkualitas, padahal pembinaan usia dini sudah banyak,” jelas Imran.

“Di kita masih banyak pemain yang merasa cepat puas, jadi misal sudah menjadi juara level usia dini, si pemain merasa sudah hebat, cepat puas. Juara membuat mereka jemawa, padahal juara di usia dini bukan sebuah prestasi tapi justru menjadi awal perjalanan,” sambung pria yang berhasil membawa Malut United promosi ke Liga 1 ini.

Pembinaan adalah Pondasi

Soal naturalisasi pemain yang berdampak pembinaan pemain muda juga menjadi perhatian pengamat sepak bola Tommy Welly. Dalam acara Diskusi Turun Minum di kawasan Jakarta Pusat, Kamis, 21 Desember 2023, pria yang akrab disapa Towel ini menuturkan, menjadikan naturalisasi sebagai mercusuar tapi melupakan pondasi atau pembinaan maka tidak akan meningkatkan prestasi jangka panjang.

Ia mengatakan, dengan gencarnya naturalisasi pemain berdarah campuran bisa menghilangkan fungsi kompetisi sesungguhnya dalam melahirkan pemain.

“Timnas itu bagian dari proses ini (munculnya pemain dari grassroot dan kompetisi lokal). Cuma ingat balik lagi, PSSI bisa naturalisasi 15 sampai 18 pemain sekaligus. Exco PSSI bisa putuskan 11 starter pemain naturalisasi semua,” kata Tommy.

Tommy Welly kritisi pembinaan sepak bola di tengah gencarnya proyek naturalisasi. (VOI/Ulfa Gusti)

“Namun, pada saat bersamaan akan datang pertanyaan kepada PSSI dan pecinta sepak bola, di mana posisi kompetisi kita? Apa kontribusinya (kompetisi dan grassroot)?” ia menambahkan.

Tommy menuturkan, PSSI harus bertanggung jawab kepada sepak bola Indonesia secara menyeluruh, termasuk mengembangkan potensi kompetisi di dalam negeri. Tanpa perlu mendebatkan naturalisasi, menurut Tommy kalau melupakan pondasi  akan percuma.

"Lalu, pertanyaannya akan datang di mana posisi kompetisi kita itu? Kalau naturalisasi hanya dijadikan mercusuar tapi pondasinya dilupakan, maka tidak akan jadi apa-apa,” tandasnya.