Stabilitas Politik atau Check and Balances?

JAKARTA – Usai penetapan Prabowo-Gibran, perhatian publik beralih pada langkah yang diambil duet Amin maupun Ganjar-Mahfud. Tanggal 21 Maret, pasangan AMIN resmi mendaftarkan gugatan perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Presiden dan Wakil Presiden tahun 2024 ke Mahkamah Konstitusi. Gugatan mereka terdaftar dengan nomor: 01-01/AP3-PRES/Pan.MK/03/2024.

Beberapa jam menjelang penutupan pendaftaran sengketa di MK, Sabtu 23 Maret, giliran Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud mendaftarkan gugatan terhadap hasil Pilpres 2024 dengan nomor 02-03/AP3-PRES/Pan.MK/03/2024.

Tapi, bukan politik Indonesia jika tidak ada “drama”. Jumat, 22 Maret lalu, publik tanah air dikejutkan dengan pertemuan antara Prabowo dengan Ketua Umum Partai NasDem, Surya Paloh. Bagaimana tidak disebut kejutan, pertemuan kedua tokoh itu berlangsung hanya satu hari usai pasangan AMIN yang notabene juga diusung oleh NasDem mengajukan gugatan ke MK.

Pertemuan Prabowo dan Paloh sontak kembali menimbulkan anggapan bahwa NasDem akan merapat ke Koalisi Indonesia Maju di pemerintahan mendatang. Apalagi, Prabowo juga menyatakan selama ini selalu menawari NasDem untuk merapat ke Koalisi Indonesia Maju dan bekerja sama dalam berpolitik.

Surya Paloh sendiri melontarkan jawaban diplomatis terkait ajakan Prabowo. Dia hanya mengatakan untuk melihat perkembangan ke depan. Karena itu, kemungkinan NasDem merapat ke KIM masih 50 persen. “Itu kita lihat perkembangan ke depan ya. Kemungkinannya masih fifty-fifty,” tutur Paloh.

Selain NasDem, pengusung AMIN di Pilpres 2024 yakni PKB juga disebut mulai “digoda” untuk bergabung dengan pemerintahan mendatang. Dalam pertemuan Presiden Joko Widodo dengan dua menteri dari PKB, Abdul Halim Iskandar (Mendes PDT) dan Ida Fauziyah (Menaker) di Istana Negara, Senin 18 Maret, terselip salam yang disampaikan Jokowi kepada Cak Imin.

Meski demikian, dua elite PKB tidak menganggap serius salam dari Jokowi untuk Cak Imin. Sebab, secara personal Jokowi dan Cak Imin selama ini dikenal akrab. “Itu guyon-guyonnya Presiden Jokowi karena selama ini memang akrab kan,” kata Ketua DPP PKB Daniel Johan.

Wakil Sekjen PKB, Syaiful Huda juga menepis persepsi jika salam Jokowi ke Cak Imin merupakan bentuk godaan agar bergabung ke KIM. “Kalau konteksnya menggoda saya kira nggak ya, karena kami juga masih berupaya (menggulirkan) hak angket,” ungkapnya.

“Kebutuhan” Prabowo untuk menambah anggota koalisi di pemerintahannya memang cukup mendesak. Dari hasil penetapan KPU, KIM hanya meraih total 43,18 persen suara. Sementara gabungan dari koalisi pendukung AMIN dan Ganjar Mahfud mencapai 46,42 persen suara (minus PPP yang tidak lolos ke parlemen). Karena itu, banyak pihak yang menduga jika pemerintahan Prabowo mendatang masih memerlukan tambahan kekuatan di parlemen agar bisa mendominasi parlemen.

Menurut Peneliti LSI Denny JA, Ardian Sopa, pemerintahan Prabowo memerlukan dukungan koalisi yang stabil agar program-program strategis mereka dapat terlaksana dengan baik. Dia menilai, koalisi partai yang bersifat semi permanen selama 20 tahun sangat penting untuk menjaga kestabilan dalam melaksanakan program-program besar seperti relokasi ibu kota, pengembangan industri, digitalisasi, dan program makan siang gratis.

“Itu sebabnya Prabowo-Gibran membutuhkan tambahan dukungan karena partai-partai yang tergabung dalam KIM tidak memiliki mayoritas kursi di DPR,” ujarnya.

Peneliti politik BRIN, Wasisto Raharjo berpendapat, bila ada partai politik di luar KIM yang tergoda masuk pemerintahan Prabowo, maka akan memperkecil ruang oposisi di pemerintahan mendatang. Meskipun, dia bisa memahami bila mengambil posisi sebagai oposisi di Indonesia merupakan pilihan antara idealisme dan dilematis bagi parpol.

“Ada beberapa partai yang kuat secara ideologi dan platform partai, maka menjadi oposisi tidak masalah, demi demokrasi yang sehat,” tukasnya.

Oposisi Cara Menarik Posisi Tawar Politik

Adapula partai yang melihat jalan oposisi sebagai sikap dilematis karena sebetulnya mereka tetap ingin masuk ke dalam pemerintahan. “Namun tak kunjung mendapat undangan, sehingga menjadi oposisi adalah bagian dari cara menarik posisi tawar politik,” tambah Wasisto.

Capres Ganjar Pranowo bersama kader PDIP (ANTARA)

Dia mengingatkan, bila Prabowo membentuk koalisi besar maka juga akan rentan terhadap munculnya friksi antarsesama parpol anggota. Khususnya, antara partai besar dan menengah. Terlepas dari itu semua, baik Ardian maupun Wasisto menilai bahwa presiden yang didukung mayoritas parpol di parlemen cenderung menciptakan kondisi politik yang lebih stabil.

“Sisi positifnya stabilitas politik mungkin tercipta, dari dampak negatifnya tentu tidak ada fungsi check and balances yang bisa mengontrol jalannya pemerintahan,” tegas Wasisto.

Lantas, bagaimana dengan PDI Perjuangan yang menjadi pemenang Pemilu Legislatif 2024? Ketua DPP PDIP, Sukur Nababan mengungkapkan bahwa partainya akan teguh menjadi oposisi dan tidak akan tergiur posisi kursi kabinet di pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Dia mencontohkan bagaimana PDIP menjadi oposisi di Pemerintahan Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono. “PDIP biasanya tidak mencla-mencle ya. Kita ingat di zaman Pak SBY seperti apa. Itu tidak akan pernah. Kami tidak akan tergiur oleh kekuasaan jabatan menteri,” katanya.

Sukur mengklaim PDIP akan konsisten sebagai oposisi dalam lima tahun ke depan. Pasalnya, PDIP menilai tidak patut jika seluruh parpol merapat dan bergabung ke dalam koalisi pemerintah, dan harus ada kelompok penyeimbang.

Meski demikian, dia tidak mempermasalahkan jika ada parpol lain yang berubah sikap dan bergabung ke Pemerintahan Prabowo. “Kami tidak akan terpengaruh dengan hal tersebut,” tandasnya.

PDIP dan Kebimbangannya

Pandangan berbeda soal haluan PDIP dikemukakan Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis, Agung Baskoro. Menurutnya, masih ada kemungkinan PDIP bergabung dengan koalisi Prabowo. Agung menilai, ada kode-kode kuat yang melandasi pandangannya tersebut.

Agung menyebut sejumlah kode itu di antaranya ketika Gibran mengaku sudah mendapat ucapan selamat dari petinggi PDIP usai KPU mengumumkan hasil Pilpres 2024. Ucapan selamat bahkan sudah banyak Gibran terima sejak unggul saat hitung cepat atau quick count.

Kemudian, politikus PDIP Deddy Yevri Sitorus menyampaikan bahwa Prabowo sempat menjenguk Bendum PDIP Olly Dondokambey yang tengah sakit. “Artinya, relasi dengan PDIP ini sebenarnya baik-baik saja antara Prabowo dengan Megawati. Tapi tidak dengan Jokowi dan Megawati. Jadi saya masih melihat ada kemungkinan PDIP merapat,” ungkapnya.

Agung juga menilai, peluang PDIP bergabung ke koalisi Prabowo-Gibran bisa ditentukan oleh sikap Puan Maharani. Dia menduga ada kemungkinan besar jika Puan sudah bertemu dengan Gibran di Solo, Jawa Tengah. Terlebih, putri Megawati Soekarnoputri itu sempat mengunggah momen kunjungannya ke Masjid Sheikh Zayed, Solo melalui akun Instagram resminya.

Menurut dia, Puan merupakan petinggi PDIP yang paling bisa menerima terkait keputusan Jokowi menempatkan Gibran menjadi cawapres Prabowo. Selain itu, memposisikan diri sebagai oposan sangat membutuhkan stamina politik yang cukup tinggi, karena banyak sumber daya yang terbatas, baik ekonomi, politik, maupun perlindungan hukum.

“Celah PDIP untuk berkoalisi itu sekarang salah satunya ada di tangan Mbak Puan karena beliau bagaimanapun sebagai suksesornya Ibu Mega setelah tidak lagi menjadi ketua umum. Selama ini keluarga Solo dengan Puan itu setahu saya hubungannya bagus. Saya masih melihat ada kemungkinan PDIP merapat ke pemerintahan Prabowo-Gibran,” terang Agung.

Dua Kelompok di PDIP, Siapa yang Dipilih Jokowi

Direktur Indobarometer, M. Qodari menduga bahwa di internasl PDIP saat ini terpecah belah menjadi dua kubu, yakni kubu P dan N yang merupakan putra putri mahkota calon penerus Megawati di PDIP. Dia menengarai, pasangan Ganjar-Mahfud merupakan kandidat dari N.

Karena itu, Pilpres 2024 menjadi jalan suksesi bagi PDIP. Meski diputuskan oleh Megawati, namun itu adalah ide N. “Pilpres ini bukan sembarang pilpres, tapi menjadi jalan suksesi bagi PDIP. Saya melihat pasangan Ganjar dan Mahfud ini adalah kandidat dari N,” ujar Qodari dalam sebuah podcast bersama Total Politik.

“Memang keputusan di tangan Ibu Mega, tapi sesungguhnya selama ini kandidat ini adalah dari kubu N. Kalo G jadi presiden, maka peluang suksesi lebih besar pada kubu N,” sambungnya.

Hal inilah yang membuat sosok P menganggap perlu memiliki rencana. Di mana posisinya akan lebih aman jika berada di sisi pasangan calon lainnya, yakni Prabowo-Gibran. Dengan begitu, P akan mempunyai teman untuk meraih kesuksesan di PDIP.

“Jadi, kalau bicara ini, maka P harus punya game plan tersendiri. Dia akan lebih aman kalau yang jadi Gibran. Jadi, P ini akan punya teman menuju suksesi di PDIP,” kata Qodari.

Sementara itu, pakar politik Universitas Andalas, Asrinaldi berharap agar PDIP menjadi oposisi. Menurutnya, PDIP akan lebih terhormat berada di luar pemerintahan. Posisi itu akan membuat PDIP tetap eksis pada Pemilu 2029 mendatang. Apalagi, PDIP masih menjadi partai politik dengan kursi terbanyak di DPR RI periode 2024-2029.

“PDIP sangat strategis untuk menyeimbangkan kekuasaan Prabowo. Kalau PDIP bergabung dengan pemerintahan Prabowo-Gibran, kekuasaan itu juga sulit untuk dikontrol,” tuturnya.

Hal senada dilontarkan peneliti politik dari Populi Center, Usep Syaiful Akhyar, yang menyatakan bahwa kekuasaan cenderung disalahgunakan bila tidak ada kekuatan penyeimbang. “Seperti saat ini, kritik yang terjadi hanya dilakukan oleh masyarakat sipil saja. Dan hampir semua partai politik berkoalisi dengan pemerintahan, sehingga kritik-kritik itu seperti tidak terdengar,” imbuhnya.

Dia kembali mengkritisi cara “gotong-royong” dalam pemerintahan Jokowi di mana oposisi seperti tak mendapat tempat. “Konflik itu kan tidak selalu muncul. Mungkin ada kompetitior ada oposisi justru membuat kelompok yang berkuasa itu tidak terlena dengan kekuasaannya. Ada yang selalu mengingatkan, ada yang selalu memberi persfektif lain,” tegas Usep.