Mengenal Influenza, 'Nenek Moyang' COVID-19 yang Mengerikan Sejak Abad ke-16
JAKARTA - Dunia sekarang ini sedang menghadapi virus corona atau COVID-19. Gejala virus corona mirip dengan influenza, meski pada dasarnya berbeda.
Persamaan mereka adalah memiliki persentase penyakit yang serupa. Keduanya juga menyebabkan penyakit pernapasan yang muncul dengan berbagai macam penyakit mulai dari tanpa gejala, gejala ringan, sampai penyakit yang parah dan kematian. Lalu, penyebaran kedua virus ini karena kontak tetesan (droplet) dan fomites.
Dari catatan WHO, ada empat perbedaan antara COVID-19 dengan influenza. Pertama, COVID-19 menular seperti influenza, namun tidak seefektif influenza. Orang terinfeksi influenza yang belum sakit bisa menjadi penular virus. Namun orang yang terinfeksi COVID-19 tidak demikian. Ada kalanya korban COVID-19 juga tidak menunjukkan gejala mencolok seperti influenza.
Kedua, COVID-19 mengakibatkan banyak penyakit parah ketimbang influenza musiman. Beberapa orang di dunia sudah memiliki kekebalan terhadap influenza, tapi belum dengan COVID-19.
Ketiga, vaksin dan obat flu musiman sudah ditemukan, namun vaksin dan obat corona belum ditemukan. Serta, perbedaan keempat adalah dunia belum berbicara tentang penanggulangan flu musiman, tapi menyiapkan diri melawan COVID-19. Otoritas kesehatan di berbagai negara tidak melakukan pelacakan penularan flu, sedangkan untuk COVID-19 mereka melakukannya untuk mencegah penularannya.
Mengenal influenza, virus ini menyebabkan puluhan juta kasus kematian selama ini. Menentukan pandemi pertama di dunia cukup sulit mengingat kurangnya catatan yang akurat dan konsisten. Tetapi para ahli epidemiologi umumnya setuju bahwa pandemi influenza pertama kali ada pada 1580.
Pandemi flu 1580 dimulai di Asia selama musim panas, kemudian menyebar ke Afrika dan Eropa. Dalam waktu enam bulan, influenza menyebar dari Eropa selatan sampai ke Eropa utara. Setelahnya, flu sampai Amerika. Jumlah korban sebenarnya tidak diketahui, tetapi 8.000 kematian terjadi hanya di Roma.
Di Eropa, selama abad pertengahan, banyak laporan yang berdatangan dari berbagai negara menggambarkan epidemi infeksi saluran pernapasan yang menyerupai pandemi influenza. Namun, tidak mungkin untuk memastikan bahwa epidemi ini disebabkan oleh influenza. Pada abad 20, tiga pandemi influenza telah terjadi, termasuk pandemi flu Spanyol yang mematikan.
Melansir History, hampir 150 tahun setelahnya, pandemi influenza lainnya muncul. Pandemi tersebut dimulai pada 1729 di Rusia dan menyebar ke seluruh Eropa dalam waktu 6 bulan dan seluruh dunia dalam waktu tiga tahun. Raja Louis XV dilaporkan terinfeksi flu tersebut.
Sekitar 40 tahun kemudian, pada 1781, pandemi flu kembali melanda. Pandemi tersebut pertama muncul di China, menyebar ke Rusia, dan kemudian meliputi Eropa dan Amerika Utara selama setahun. Pada puncaknya, pandemi menyerang 30.000 orang setiap hari di St. Petersburg dan memengaruhi dua pertiga populasi di Roma.
Pandemi flu 1830-1833 dimulai di China, kemudian menyebar dengan kapal ke Filipina, India, dan Indonesia. Setelahnya melintasi Rusia dan Eropa, yang mengalami dua pandemi.
Baca juga:
Pembuatan Vaksin Flu
Dikutip dari jurnal National Center for Biotechnology Information, selama pandemi 1918-1919, beberapa ilmuwan mulai curiga bahwa bakteri bukanlah agen utama dari influenza. Salah satunya adalah ilmuwan bernama Richard Edwin Shope, yang meneliti flu babi pada 1920. Namun, baru pada 1932-1933 ilmuwan asal Inggris bernama Wilson Smith, Christopher Andrewes, dan Patrick Laidlaw, bekerja di Medical Research Council di Mill Hill.
Beberapa tahun kemudian, ahli virologi dan epidemiologi Amerika bernama Thomas Francis, Jr dan Smith dapat menularkan virus ke tikus untuk penelitian lebih lanjut.
Kemudian, pada 1935, Frank Macfarlane Burnet dan Wilson Smith secara terpisah menemukan bahwa virus flu dapat ditumbuhkan pada membran dari embrio ayam dan pada 1936 untuk pertama kalinya antibodi dapat dinetralkan dari manusia yang diisolasi akibat influenza. Uji klinis pertama vaksin influenza dilakukan pada pertengahan 1930-an.
Mengingat tingginya angka kematian tentara Perang Dunia I karena flu, militer AS sangat tertarik dengan vaksin flu. Selama Perang Dunia II, tentara AS adalah bagian dari tes lapangan terkait keamanan dan kemanjuran vaksin baru.
Tetapi selama tes 1942-1945 ini, para ilmuwan menemukan influenza tipe B, yang mengharuskan vaksin baru yang melindungi terhadap virus H1N1 dan influenza B.
Setelah pandemi flu Asia muncul pada 1957, vaksin baru yang melindungi dari serangan flu H2N2 dikembangkan. WHO memantau jenis virus influenza yang mewabah di berbagai negara untuk menentukan vaksin flu yang dibutuhkan di musim mendatang.
Dalam seratus tahun sejak virus influenza berhasil diteliti, persiapan vaksin influenza terus berevolusi untuk memastikan perlindungan yang efektif, sambil mempertahankan profil keselamatan dan keefektifan vaksin.