Mendambakan Sistem Multipartai Sederhana

JAKARTA – Istilah parliamentary threshold (PT) atau ambang batas parlemen kembali menjadi perbincangan. Penyebabnya, adalah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 116/PUU-XXI/2023 tentang perubahan besaran ambang batas palemen di Pemilu 2029.

Dalam putusannya, MK menilai ketentuan ambang batas parlemen atau parliamentary threshold sebesar 4 persen suara sah nasional yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tidak sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat, keadilan pemilu, dan melanggar kepastian hukum yang dijamin oleh konstitusi.

Untuk itu, ambang batas parlemen tersebut konstitusional sepanjang tetap berlaku dalam Pemilu DPR 2024 dan konstitusional bersyarat untuk diberlakukan pada Pemilu DPR 2029 dan pemilu berikutnya.

“Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian. Menyatakan norma Pasal 414 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum adalah konstitusional sepanjang tetap berlaku untuk Pemilu DPR 2024 dan konstitusional bersyarat untuk diberlakukan pada Pemilu DPR 2029 dan pemilu berikutnya sepanjang telah dilakukan perubahan terhadap norma ambang batas parlemen serta besaran angka atau persentase ambang batas parlemen dengan berpedoman pada persyaratan yang telah ditentukan,” ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan Amar Putusan, Kamis 29 Februari 2024.

PT atau ambang batas parlemen adalah syarat minimal perolehan suara agar sebuah partai politik bisa diikutkan dalam penentuan kursi di DPR dan DPRD. Dikutip dari Jurnal Penelitian Politik LIPI berjudul “Penyederhanaan Partai Politik Melalui Parliamentary Threshold: Pelanggaran Sistematis Terhadap Kedaulatan Rakyat” (2019), alasan penerapan ambang batas parlemen adalah untuk menyederhanakan jumlah parpol di Indonesia yang dinilai sudah terlampau banyak.

Bila dirunut ke belakang, sebenarnya penerapan PT atau ambang batas parlemen bukanlah hal baru, meski kerap berubah-ubah. Cikal bakal PT atau ambang batas parlemen sudah dimulai pada Pemilu 1999. Bedanya, di pemilu pertama era reformasi itu menerapkan sistem ambang batas kepesertaan pemilu atau electoral threshold (ET) yang berbasis kursi parlemen.

Artinya, partai politik peserta Pemilu 1999 dapat menjadi peserta Pemilu 2004 apabila memiliki sedikitnya 2 persen kursi DPR atau sedikitnya 3 persen kursi DPRD provinsi atau DPRD kabupaten/kota, yang tersebar pada separuh provinsi dan separuh kabupaten/kota.

Pemilu 2004 meningkatkan ambang batas kepesertaan pemilu berikutnya menjadi 3 persen kursi DPR atau sedikitnya 4 persen kursi DPRD provinsi atau DPRD kabupaten/kota, yang tersebar pada separuh provinsi dan separuh kabupaten/kota.

Menjelang Pemilu 2009, aturan pun kembali berubah. Dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilu, Panitia Khusus (Pansus) menyepakati perubahan ketentuan dari electoral threshold menjadi parliamentary threshold.

Penerapan PT atau Ambang Batas Parlemen

Anggota Pansus RUU Pemilu (setelah disahkan menjadi UU No 10/2008 tentang Pemilu), Ali Masykur Musa menceritakan, perubahan dari ET menjadi PT disepakati karena Pansus menilai ET tidak efektif untuk menyeleksi parpol yang ada demi terwujudnya sistem multipartai sederhana di Indonesia.

“Harapan kita saat itu adalah mewujudkan sistem multipartai sederhana. Selain efisiensi biaya penyelenggaraan pemilu, efektivitas kinerja parlemen juga diharapkan bisa meningkat,” ujarnya, Senin 4 Maret 2024.

Cak Ali, sapaan akrab Ali Masykur, mengungkapkan bahwa saat itu Pansus menelaah beberapa contoh penerapan PT atau ambang batas parlemen di berbagai negara terutama di Asia. Dari data yang diperoleh Pansus, rata-rata angka PT di negara-negara Asia adalah 3 hingga 5 persen.

“Bahkan kalau di kawasan lain, Eropa dan Afrika rata-rata sudah 5 persen. Sedangkan di Amerika Utara dan Selatan itu rata-rata 3 persen,” imbuhnya.

Karena itu, usai menerima masukan dari berbagai pihak, Pansus menyepakati penerapan PT atau ambang batas parlemen dengan besaran angka bertahap, yang diharapkan nantinya mencapai 5 hingga 7 persen untuk menciptakan sistem multipartai sederhana.

“Harapan kita di Pansus, jika ada parpol yang tidak lolos PT atau ambang batas parlemen, bisa melebur bila memiliki kesamaan visi. Jadi voters atau pemilih nantinya juga tidak bingung dengan banyaknya parpol dengan kesamaan platform. Tapi memang kita (Pansus) mengakui, semuanya tergantung dari kesadaran masing-masing parpol yang tidak lolos itu,” tutup Cak Ali.

Aturan PT atau ambang batas parlemen akhirnya kali pertama diterapkan pada Pemilu 2009. Saat itu syarat sebuah parpol bisa mendapatkan kursi di DPR adalah dengan memperoleh suara sekurang-kurangnya 2,5 persen dari jumlah suara nasional. Hal itu tercantum dalam Pasal 202 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008. Akan tetapi, peraturan ambang batas parlemen pada 2009 belum berlaku untuk kursi DPRD provinsi dan kabupaten/kota.

Aturan PT atau ambang batas parlemen kembali diberlakukan dalam Pemilu 2014. Pasal 208 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 menetapkan batas perolehan suara lebih tinggi, yakni 3,5 persen dari jumlah suara nasional, sebagai syarat bagi sebuah parpol bisa memperoleh kursi di DPR.

Selain DPR, aturan ambang batas parlemen pada pemilu 2014 juga mulai diterapkan DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Namun, MK memutuskan ambang batas parlemen sebesar 3,5 persen itu tidak berlaku secara nasional dan hanya berlaku untuk DPR saja.

Pada Pemilu 2019, Pasal 414 dan 415 Undang-Undang Nomor 7 Tahun Tahun 2017 mengatur bahwa sebuah parpol harus memperoleh suara sekurang-kurangnya 4 persen dari jumlah suara nasional untuk bisa memperoleh kursi di DPR.

Harapan tinggal harapan. Pasalnya, kinerja PT atau ambang batas parlemen yang mulai diterapkan pada Pemilu 2009 dengan tujuan untuk menciptakan sistem multipartai sederhana turun naik.

Pada Pemilu 2009 yang diikuti 38 partai politik, hanya sembilan partai yang berhasil lolos ambang batas parlemen sebesar 2,5 persen yaitu Partai Demokrat, Partai Golkar, PDI Perjuangan, PKS, PAN, PKB, PPP, Partai Gerindra, dan Partai Hanura.

Pada Pemilu 2014 yang diikuti 12 parpol dengan besaran 3,5 persen, parpol yang lolos meningkat menjadi sepuluh, yakni PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Demokrat, PKB, PAN, PKS, Partai NasDem, PPP, dan Partai Hanura.

Hal ini tentu bertolak belakang dengan niat awal menerapkan PT atau ambang batas parlemen. Sebab, pada Pemilu 2009 dan 2014 ada kenaikan jumlah parpol yang lolos ke parlemen meskipun ambang batas parlemennya meningkat.

Pada Pemilu 2019, besaran PT atau ambang batas parlemen dinaikkan menjadi 4 persen. Dengan syarat tersebut partai yang berhasil memenuhi parliamentary threshold yaitu sebanyak 9 parpol, dari 16 partai peserta Pemilu 2019. Sembilan parpol yang memenuhi ambang batas parlemen 4 persen tersebut adalah PDI Perjuangan, Golkar, Partai Gerindra, PKB, Partai NasDem, PKS, Partai Demokrat, PAN, dan PPP.

Multipartai Sederhana untuk Demokrasi yang Sehat

Wakil Ketua DPP Partai NasDem, Ahmad Ali berpendapat bahwa pihaknya menilai besaran PT atau ambang batas parlemen 7 persen merupakan angka yang ideal untuk merampingkan jumlah parpol dan memperkuat sistem presidensial.

“Kalau PT atau ambang batas parlemen tidak dibatasi maka tidak menutup kemungkinan orang akan bisnis dengan mendirikan parpol dengan modal Rp50 miliar untuk “jualan” politik. Itu yang harus kita hindari demi sehatnya demokrasi Indonesia ke depan,” kata dia.

Sementara menurut Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Sam Ratulangi, Daud M. Liando, jumlah parpol di Indonesia seharusnya memang dibatasi dan disederhanakan. Dia menilai, apa yang diterapkan di zaman Orde Baru sebenarnya sudah ideal untuk pemilu di Indonesia.

“Sayangnya, hal itu berubah ketika masuk era reformasi, dimana sejumlah pihak menganggap kebijakan yang diambil Orde Baru sesuatu yang keliru. Setelah itu, orang berusaha untuk mendirikan banyak partai karena dianggap sebagai banyak partai semakin demokratis,” terangnya.

Faktanya, lanjut Daud, ternyata semakin banyak parpol menjadi salah satu yang menjadi hambatan bernegara karena membuat sulitnya mengawasinya. “Kita juga sulit untuk melihat mana partai-partai politik yang memiliki komitmen dan memiliki kualitas yang baik,” imbuhnya.

Dia menyatakan, banyaknya parpol membuat mereka kesulitan mencari orang untuk terlibat dalam politik. Terutama untuk memenuhi keanggotaan maupun kepengurusannya. “Padahal seharusnya kan orang itu cari partai, tapi sekarang kan partai cari orang. Ini karena partai terlalu banyak dan kita telah menyimpang dari komitmen,” tutur Daud.

Dia menegaskan, tanpa sistem multipartai sederhana, maka akan terus terjadi penggabungan atau koalisi dalam praktik politiknya. Penggabungan atau koalisi ini justru bisa melemahkan parpol karena bargaining position. “Semakin banyak parpol semakin banyak kepentingan. Semakin banyak kepentingan semakin sulit pemerintah mengambil policy karena harus kompromi dengan parpol,” tutup Daud.