Hak Angket DPR Hanya Bikin Urusan Pemilu 2024 Tambah Runyam?
JAKARTA – Sengkarut berbagai dugaan kecurangan dalam penyelenggaraan Pemilu 2024 membuat wacana penggunaan hak angket DPR terus bergulir. Ini terjadi karena pelaksanaan Pilpres disebut sarat dengan kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).
Adalah Ganjar Pranowo, calon presiden nomor urut tiga, yang pertama kali mengembuskan wacana hak angket DPR. Capres dari PDIP ini menyebut hak angket, yang merupakan hak penyelidikan DPR, menjadi salah satu upaya untuk meminta pertanggungjawaban Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) terkait dugaan kecurangan Pilpres 2024.
“Jika DPR tidak siap dengan hak angket, saya mendorong penggunaan hak interpelasi DPR untuk mengkritisi kecurangan pada Pilpres 2024,” kata Ganjar dalam keterangan tertulis, pada 19 Februari lalu.
Digagas Capres yang Kalah
Pilpres 2024 diwarnai oleh sejumlah drama, bahkan jauh sebelum hari pencoblosan tiba pada 14 Februari. Dimulai dari gugatan batas usia Capres-Cawapres yang dikabulkan Mahkamah Konstitusi (MK) sehingga memuluskan langkah putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, maju di Pilpres 2024 mendampingi Prabowo Subianto.
Tiga hari sebelum masa tenang, atau tepatnya pada 12 Februari lalu, film dokumenter Dirty Vote menghebohkan publik. Isinya soal dugaan kecurangan Pemilu, yang katanya dirancang sejak beberapa tahun terakhir.
Lalu ketika hasil quick count atau hitung cepat dari sejumlah lembaga survei menyatakan pasangan Prabowo-Gibran unggul sampai di atas 55 persen, tudingan curang makin masif dilancarkan kubu lawan.
Munculah gagasan hak angket DPR yang digagas Ganjar Pranowo, lalu disambut Anies Baswedan dengan positif. Capres nomor urut satu ini menyebut partai di Koalisi Perubahan, yaitu PKB, Nasdem, dan PKS siap bekerja sama.
"Saya memandang, dengan adanya inisiatif angket, proses di DPR bisa berjalan. Kami siap dengan data-datanya dan di bawah kepemimpinan fraksi terbesar, maka proses DPR bisa berjalan. Saya yakin partai Koalisi Perubahan siap untuk menjadi bagian dari itu," ucap Anies.
Tak Bisa Batalkan Pemilu
Mengutip laman resmi DPR, hak angket merupakan salah satu dari tiga hak istimewa yang dimiliki DPR. Menurut UUD 1945 khususnya Pasal 20A ayat (2), dalam melaksanakan fungsinya, DPR memiliki tiga hak yang terdiri dari hak angket, hak interpelasi, dan hak menyatakan pendapat.
Tiga hak istimewa DPR ini diatur lebih lanjut dalam UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3)
Sementara Pasal 79 ayat (3) UU MD3 mengatakan, hak angket adalah DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Riuh soal hak angket DPR untuk menyelesaikan dugaan kecurangan Pemilu membuat sejumlah pakar angkat bicara. Yusril Ihza Mahendra, pakar hukum tata negara sekaligus Dewan Pengarah Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, mengatakan untuk menyelesaikan ketidakpuasan terhadap pelaksanaan Pemilu dan hasilnya tidak bisa dengan menggunakan hak angket, melainkan Mahkamah Konstitusi.
"Apakah hak angket dapat digunakan untuk menyelidiki dugaan kecurangan dalam Pemilu, dalam hal ini Pilpres, oleh pihak yang kalah? Pada hemat saya tidak karena UUD 1945 telah memberikan pengaturan khusus terhadap perselisihan hasil Pemilu yang harus diselesaikan melalui Mahkamah Konstitusi," ujar Yusril, dikutip Antara.
Lebih lanjut, Yusril menerangkan putusan MK dalam mengadili sengketa Pilpres akan menciptakan kepastian hukum, sementara penggunaan hak angket DPR akan membawa negara ini ke dalam ketidakpastian.
"Penggunaan angket dapat membuat perselisihan hasil Pilpres berlarut-larut tanpa kejelasan kapan akan berakhir. Hasil angket pun hanya berbentuk rekomendasi atau paling jauh adalah pernyataan pendapat DPR," tegas Yusril.
Sementara itu, Cawapres nomor urut tiga Mahfud MD mengatakan, pengajuan hak angket di DPR sangat boleh dilakukan untuk merespons dugaan kecurangan pada Pemilu 2024. Mantan Menko Polhukam ini menjelaskan, angket yang diberlakukan bukan untuk Pemilunya, tetapi kebijakan yang berdasarkan kewenangan tertentu.
Baca juga:
“Kalau bolehnya, ya sangat sangat boleh. Siapa bilang tidak cocok. Soal siapa yang boleh diangket itu ya pemerintah dalam hal ini terkait kebijakan-kebijakan, bukan hasil Pemilunya," tutur Mahfud.
Kendati demikian, dia menyebut hak angket tidak akan memengaruhi hasil Pemilu. Hak angket juga tidak akan mengubah keputusan KPU atau mengubah keputusan MK yang memiliki jalur tersendiri.
"Hak angket itu tidak akan mengubah keputusan KPU, nggak akan mengubah keputusan MK nantinya, itu jalur tersendiri yang angket itu menurut konstitusi itu DPR punya hak untuk melakukan angket atau pemeriksaan penyelidikan dan dalam cara tertentu di dalam kebijakan pemerintah," katanya.
Pernah di Era Jokowi dan SBY
Dilansir dari Kompas, hak angket pernah sekali digunakan DPR selama dua periode pemerintahan Presiden Joko Widodo, tepatnya pada 2017. Tapi hak itu bukan digunakan terhadap kebijakan pemerintah, melainkan terhadap kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
DPR menggunakan hak angket setelah adanya penolakan KPK atas permintaan Komisi III membuka rekaman Miryam S Haryani, anggota DPR yang menjadi tersangka dalam pemberian keterangan palsu dalam kasus korupsi pengadaan KTP elektronik.
Sementara Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat pada dua periode masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sejak 2004 hingga 2014, hak angket digunakan sebanyak 16 kali.
Beberapa di antaranya yaitu hak angket untuk menyelidiki kebijakan Pertamina terkait penjualan dua tanker ukurang sangat besar (very large crude carrier/VLCC), hak angket skandal Bank Century, lalu hak angket atas kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM).
Di masa pemerintahan SBY hak angket juga digunakan untuk menyelidiki penyelenggaraan ibadah haji tahun 2008 yang dinilai sangat buruk. Lalu setahun kemudian, hak angket digunakan setelah terjadi kesemerawutan daftar pemilih tetap (DPT) pada Pemilu 2009.