Perundungan di Sekolah Tak Kunjung Berhenti, Salah Siapa?
JAKARTA – Kasus perundungan yang kembali terjadi di lingkungan sekolah mengundang keprihatinan dan kegeraman banyak pihak. Tapi sayangnya, bullying atau perundungan di sekolah terus muncul setiap tahunnya. Siapa yang harus bertanggung jawab menghentikannya?
Akhir-akhir ini publik kembali dihebohkan dengan kasus bullying yang terjadi di SMA Binus School di Serpong, Tangerang Selatan. Selain karena melibatkan anak artis Vincent Rompies, kasus ini juga menyita atensi masyarakat karena bullying seolah sudah mandarah daging, seolah sudah menjadi budaya. Padahal, perundungan tidak hanya memberikan dampak negatif pada korban, tapi juga pelaku.
Ketika isu perundungan kembali mencuat dan menjadi headline di media nasional, publik pun bertanya-tanya siapakah yang sebenarnya patut bertanggung jawab atas kejadian yang terus berulang ini? Orangtua, sekolah, atau ya memang si anak itu sendiri yang menjadi pelaku.
Geng Sekolah Beri Dampak Negatif
Dalam keterangannya, Kanit PPA Polres Tangerang Selatan Ipda Galih Dwi Nuryanti mengatakan korban perundungan di SMA Binus School Serpong mengalami memar hingga luka bakar. Saat itu, korban disebut diikat di tiang hingga dipukuli menggunakan balok kayu dan diduga disundut rokok.
Masih dituturkan Galih, aksi tersebut dilakukan oleh lebih dari satu orang pelaku dan terjadi selama dua kali. Menurut kabar yang beredar, aksi bullying ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk masuk ke dalam geng pelaku.
Kabar ini kemudian menjadi perhatian Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) yang mendesak supaya geng sekolah yang kerap melakukan perundungan dibubarkan. Bukan apa-apa, FSGI menilai keberadaan geng sekolah hanya menimbulkan dampak negatif pada tumbuh kembang anak.
"FSGI mendesak Kemendikbudristek untuk segera turun tangan menangani kasus kekerasan peserta didik di Binus International School," kata Ketua Dewan Pakar FSGI Retno Listyarti dalam keterangan tertulis, Selasa (20/2/2024).
"Geng sekolah saat ini sudah menjamur di berbagai sekolah, oleh karena itu FSGI mendorong dinas-dinas pendidikan di berbagai daerah bersama Kemendikbudristek untuk memikirkan cara dan terapi yang tepat untuk mencegah dan membubarkan geng-geng sekolah yang berpotensi melakukan berbagai kekerasan," ungkapnya.
Apa yang dikatakan FSGI tak bisa dianggap remeh. Menurut Psikolog Klinis dan Forensik Kasandra Putranto, lingkungan turut andil dalam mempengaruhi perilaku anak di sekolah. Ia mengatakan, tekanan dari teman-teman untuk menunjukkan perilaku tertentu, termasuk perilaku nakal, dapat mempengaruhi bagaimana anak berperilaku di sekolah.
“Anak mungkin merasa lebih bebas atau lebih percaya diri untuk mengekspresikan sisi berbeda dari diri mereka di lingkungan sekolah,” papar Kasandra kepada VOI.
“Mereka mungkin mengekspresikan diri dengan cara yang berbeda untuk mendapatkan perhatian atau pengakuan positif dari teman-teman mereka. Ini bisa membuat mereka lebih berani untuk mengekspresikan diri atau berperilaku lebih bebas. Anak mungkin menyesuaikan perilaku mereka dengan norma yang mereka lihat dalam setiap lingkungan,” sambungnya.
Pentingnya Pendidikan Empati dan Toleransi
Apa yang dilakukan para pelaku, jika memang terbukti seperti yang tersebar di media sosial, sungguh memprihatinkan sekaligus mengerikan. Bagi sebagian orang, aksi-aksi kejam yang dilakukan personel geng ini adalah di luar nalar.
Kasandra Putranto menjelaskan, aksi perundungan yang dilakukan pelaku terjadi bukan tanpa alasan. Meski lingkungan atau dalam kasus ini teman-teman memiliki andil, namun orangtua memiliki peran paling penting dalam membangun karakter anak selama masa tumbuh kembang dengan cara menjalin komunikasi terbuka.
“Pendampingan orangtua selama masa tumbuh kembang anak merupakan hal yang mutlak diperlukan. Orang tua perlu mengenali profil psikologis anak sejak dini, dengan membangun komunikasi terbuka, mendengarkan mereka dengan penuh perhatian tanpa menilai atau menghakimi,” tutur Kasandra.
“Pendidikan tentang empati dan toleransi sangat penting, dengan mengajarkan anak tentang empati, toleransi, dan penghargaan terhadap perbedaan,” ia menambahkan.
Opini serupa juga disampaikan psikolog anak Universitas Padjadjaran Fitrian Hararti. Ia menyebut pola asuh buruk menjadi salah satu penyebab terjadinya perundungan.
"Banyak orang tua yang secara tidak sadar melakukan bullying terhadap anak-anak mereka," katanya, dikutip Antara.
Ia menyampaikan, salah satu contoh perundungan yang dilakukan orang tua adalah membanding-bandingkan kemampuan anak dengan orang lain. Terlebih lagi apabila orang tua melontarkan komentar merendahkan untuk mendorong atau memotivasi anak.
Baca juga:
- Geger Kasus Anak Vincent Rompies, Perundungan Dilakukan oleh Orang yang Merasa Tidak Berdaya
- JIS Bisa Jadi Tempat yang Layak untuk Konser Jika Akses Transportasi dan Infrastruktur Memadai
- Pemindahan Konser Ed Sheeran dari GBK ke JIS Berarti Mempertaruhkan Kepercayaan Publik
- Isu Kecurangan Pemilu Dominasi Obrolan Warganet di Media Sosial dan Pemberitaan
Ketika orangtua terbiasa melakukan perundungan, maka anak terancam menjadi korban dari tindakan serupa di luar rumah karena kurangnya kepercayaan diri. Namun, ancaman yang lebih besar adalah anak meniru tindakan orangtuanya dan menjadi pelaku perundungan.
"Anak adalah peniru ulung dan orang tua adalah modelnya, jadi jangan berharap punya anak yang baik berakhlak mulia dan cerdas kalau orang tuanya sendiri tidak cerdas mendidik anak," katanya.