Bahas Krisis Gaza dengan Presiden Biden di Gedung Putih, Raja Yordania Abdullah II: Kita Tidak Bisa Berdiam Diri
JAKARTA - Presiden Amerika Serikat Joe Biden menggelar pembicaraan seputar krisis di Jalur Gaza dengan Raja Abdullah II, saat menerima pemimpin Yordania itu di Gedung Putih Hari Senin.
Presiden Biden mengatakan, Amerika Serikat mendorong penghentian pertempuran antara Israel dan Hamas di Gaza selama enam minggu, sebagai batu loncatan menuju gencatan senjata yang lebih lama.
Dikatakan olehnya, Amerika Serikat bekerja sama dengan sekutu di Timur Tengah dalam mencapai kesepakatan untuk menghentikan pertempuran, guna memungkinkan pembebasan sandera Gaza dan meningkatkan aliran bantuan kemanusiaan.
"Elemen-elemen kunci dari kesepakatan tersebut sudah dibahas. Masih ada kesenjangan, namun saya telah mendorong para pemimpin Israel untuk terus berupaya mencapai kesepakatan tersebut. Amerika Serikat akan melakukan segala kemungkinan untuk mewujudkannya," jelas Presiden Biden, melansir CNN 13 Februari.
Kesepakatan itu akan dimulai dengan jeda pertempuran setidaknya selama enam minggu, "yang kemudian kita dapat meluangkan waktu untuk membangun sesuatu yang lebih bertahan lama," kata Biden.
Sementara itu, Raja Abdullah II dalam kesempatan yang sama kembali menyerukan gencatan senjata secara luas di kawasan tersebut.
Baca juga:
- Kepala Organisasi Kesehatan Dunia Prihatin Serangan Israel ke Rafah
- Stoltenberg Sebut Komentar Donald Trump Soal NATO Membahayakan Tentara Amerika dan Eropa
- Hamas Sebut Serangan Israel Terhadap Rafah yang Menewaskan lebih dari 100 Orang Sebagai Pembantaian Mengerikan
- Korban Tewas Akibat Serangan Israel di Rafah Tembus 100 Orang
"Kita tidak bisa berdiam diri dan membiarkan ini terus berlanjut," ujarnya, dikutip dari Reuters.
"Kita membutuhkan gencatan senjata yang langgeng sekarang. Perang ini harus diakhiri," tandasnya.
Diketahui, pertemuan kedua pemimpin terjadi saat Israel memulai serangan di Rafah, selatan Gaza, langkah yang sebelumnya disoroti Presiden Biden ketika berbicara dengan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.