Perbedaan Konsekuensi dan Hukuman, Mana yang Efektif Membentuk Perilaku yang Baik pada Anak?
YOGYAKARTA – Soal berbuat salah, melanggar aturan, dan mengenali batasan, perlu diajarkan ortu pada anak-anaknya. Wajar jika anak-anak berbuat salah, tetapi kewajiban ortu untuk mengenalkan dan membangun perilaku yang baik. Untuk mengajarkan hal tersebut, ortu kerap keliru. Tampaknya, memberi hukuman bukan cara efektif untuk mencegah perilaku tak diinginkan.
Orang dewasa merespons dengan tenang, membantu, dan konsisten dengan fokus mengajar anak-anak mereka untuk berbuat lebih baik, mereka belajar membuat pilihan yang lebih baik di masa depan, kata Caroline Fulton, PsyD, psikolog anak dan remaja di Northwestern Medicine Central DuPage Hospital di Winfield, Illinois. Namun, tidak semua intervensi orang dewasa diciptakan sama, dan beberapa intervensi mungkin lebih merugikan daripada membawa manfaat.
Orang tua yang memberikan intervensi dengan hukuman, biasanya memicu perilaku yang lebih negatif. Ini juga dapat merusak harga diri anak serta hubungan orang tua-anak. Namun, dengan memberikan konsekuensi, dapat mengubah disiplin menjadi kesempatan belajar dan membantu anak-anak memahami kesalahan yang mereka lakukan.
Konsekuensi dan hukuman memiliki tujuan yang sama, yaitu membentuk dan mengelola perilaku anak-anak. Namun keduanya memiliki perbedaan besar dalam dampaknya terhadap anak-anak, kata Fulton dilansir VerywellFamily, Minggu, 11 Februari. Hukuman bertujuan untuk membuat anak menderita atau merasa malu atas kesalahannya. Hukuman dimaksudkan untuk membuat anak-anak merasa tidak enak. Meskipun konsekuensi mungkin menimbulkan ketidaknyamanan, tujuannya adalah agar anak menghubungkan perilakunya dengan hasil tindakannya guna mendapatkan motivasi yang diperlukan untuk membuat pilihan berbeda di lain waktu.
Perbedaan antara konsekuensi dan hukuman yang kedua, hukuman tidak selalu terkait dengan perilaku anak. Hukuman yang diberikan mungkin termasuk membentak, mengkritik, mempermalukan, mengancam, merampas hak istimewa, atau menyakiti secara fisik, misalnya tamparan. Rasa sakit fisik tersebut dimaksudkan sebagai pengingat kepada anak agar tidak melakukan perilaku tersebut lagi. Namun, penelitian menunjukkan bahwa sebaliknya, anak tersebut mungkin hanya merasa takut, marah, atau kesal karena dipukul.
Baca juga:
“Hukuman sering kali menyebabkan anak-anak merasa buruk tentang diri mereka—dibandingkan dengan apa yang mereka lakukan,” kata Aliza Pressman, PhD, psikolog di Rumah Sakit Anak Mount Sinai Kravis di New York City dan asisten profesor klinis di departemen pediatri, Fakultas Kedokteran Icahn, Mount Sinai.
Hukuman juga bisa menjadi kontraproduktif karena menyebabkan anak-anak berfokus pada kemarahan mereka terhadap orang tua, daripada memikirkan apa yang bisa mereka lakukan dengan lebih baik di lain waktu, jelas Dr. Pressman. Sedangkan konsekuensi, merupakan strategi yang efektif ketika menghubungkan tindakan anak dengan hasil akhir, memungkinkan mereka untuk benar-benar belajar dari pilihan perilaku mereka, kata Dr. Fulton.
Daripada bermaksud membuat anak menderita karena suatu kesalahan, lebih baik berfokus pada konsekuensi dengan mengajari anak bagaimana berbuat lebih baik di masa depan. Anak-anak tidak malu atau dipermalukan oleh kesalahan mereka. Sebaliknya, mereka mengalami konsekuensi yang masuk akal atau diharapkan dari perilaku mereka. Maka cara mendisiplinkan anak dengan efektif menggunakan konsekuensi daripada memberikan hukuman yang membuat mereka tidak belajar, merasa malu, bahkan merasa rendah diri.