Menunggu Gigitan UU Perdagangan di Kejahatan Skema Ponzi
Bisnis curang yang menjanjikan pengembalian investasi yang tinggi kepada investor dengan risiko kecil kembali hadir. Proyeksi pengembalian sering kali ditawarkan dengan harga yang lebih tinggi dari harga pasar, terkadang melebihi 50%, untuk menarik seseorang agar ber-investasi. Bisnis curang ini memiliki nama keren, Skema Ponzi.
Skema kejahatan ini bergantung pada kemampuan para pelaku untuk menarik lebih banyak investor baru, karena tanpa investasi tambahan ini, akan ada ketidakmampuan untuk membayar investor yang sudah ada. Untuk itu para pelaku skema ini harus mempunyai cerita yang dapat dipercaya. Kisahnya ini harus memberi investor sesuatu yang masuk akal, mulai dari apa pun yang melibatkan bank, hipotek, hingga perusahaan manufaktur internasional. Kunci untuk membuat cerita dapat dipercaya adalah penggunaan situasi yang beragam, kompleks, dan unik.
Dilansir dari Situs eisneramper, Skema Ponzi pertama dirancang oleh seorang imigran Italia bernama Charles Ponzi pada tahun 1919. Pada saat itu, pemerintah biasanya mengizinkan individu menukarkan prangko dengan mata uang lokal. Ponzi bermaksud memanfaatkan sistem ini dengan membeli prangko pos dari luar negeri dan menahannya hingga nilai mata uangnya meningkat.
Teman dan keluarga Ponzi bergabung dalam usaha ini dengan menyediakan uang yang diperlukan untuk berinvestasi dalam operasi tersebut.
Ponzi menjanjikan imbal hasil sebesar 10% setiap bulannya, sehingga menciptakan gebrakan bagi usahanya karena bank hanya menawarkan imbal hasil sebesar 5% per tahun. Ponzi dipercayai sekitar $15 juta dolar dari investor. Dia menggunakan uang 'baru' untuk memberikan keuntungan palsu kepada investor 'lama'. Ketika Ponzi diketahui bangkrut, investor meminta uangnya kembali, dan skema Ponzi akhirnya terbongkar. Ponzi mengaku bersalah atas penipuan surat dan menghabiskan waktu di penjara federal dan negara bagian sebelum dia dideportasi ke Italia.
Pola penipuan dengan menggunakan skema Ponzi banyak terjadi di seluruh dunia. Kasus skema Ponzi terkenal setelah 1920, terjadi pada tahun 2008 yang dilakukan Bernie Madoff. Madoff mampu meyakinkan pebisnis kaya dan bahkan perusahaan untuk berinvestasi dalam strategi “pengembalian absolut” miliknya. Operasi Madoff diketahui ketika dia tidak mampu memenuhi permintaan investor untuk membayar kembali, sama seperti skema Ponzi lainnya yang akhirnya gagal. Investor Madoff akhirnya kehilangan sekitar $20 miliar selama jangka waktu skemanya.
Baca juga:
Selama era Madoff, skema Ponzi berukuran rata-rata melibatkan sekitar $98 juta. Menurut data yang diterbitkan oleh Federal Trade Commission (FTC), konsumen melaporkan kerugian sekitar $8,8 miliar akibat penipuan pada tahun 2022, dengan penipuan investasi mencapai lebih dari $3,8 miliar.
Penipuan Ponzi Bukan Hal Baru di Indonesia.
Kasus investasi bodong berjenis Ponzi di Indonesia bukan merupakan hal yang baru. Beberapa waktu lalu polisi berhasil membekuk Putra Wibowo pendiri robot trading Viral Blast di Bngkok. Putra Wibowo sukses menjadi buronan selama setahun. Kerugian dari kasus investasi bodong robot trading Viral Blast ini mencapai Rp 1,8 riliun terhadap 11.930 korban, modusnya mengajak korban menjanjikan keuntungan yang besar dengan memperdagangkan forex.
Investasi bodong berjenis Ponzi yang menggunakan sistem kerja dengan menjual jasa di platform sosial media juga banyak ditemukan. Pengamat finansial, Alfons Tanujaya menyatakan bahwa kasus Simonida Media sebenarnya bukan hal baru di Indonesia. Dia mencontohkan kasus Gotiktok, Tiktokcash, dan Goins yang kemudian diblokir oleh Kominfo atas permintaan dari OJK karena melakukan aksi investasi bodong alias Ponzi.
“Kan hampir mirip-mirip, korbannya diiming-imingi bisa mendapatkan penghasilan tetap hanya menonton video, melakukan like, subscribe atau memberikan komentar pada video yang muncul di platform,” ungkapnya.
Sayangnya, setelah diblokir oleh Kominfo, perlahan pelaku penipuan ini berevolusi dan menjalankan aksinya secara gerilya dengan menawarkan pekerjaan freelance melakukan like dan subscribe. Korbannya yang memang pencari kerja diiming-imingi keuntungan besar menggiurkan 30 persen per hari dari uang modal yang disetorkan.
Dia menerangkan, teknik yang digunakan oleh platform semacam itu cukup cerdik dan memanfaatkan kondisi psikologis “sunk cost effect” dimana seorang subjek yang diinformasikan bahwa ia berhak atas uang Rp75.000 seakan sudah menjadi miliknya, padahal ia belum melakukan apapun.
Dan ia hanya perlu menuntaskan tugas terakhir sebelum mengklaim uang yang sudah menjadi miliknya, maka kemungkinan besar ia akan melakukan tugas tersebut karena merasa rugi sebesar Rp75.000 kalau ia tidak melakukan tugas tersebut.
“Celakanya, masyarakat terbuai oleh aksi tebar uang dari platform digital yang kurang bertanggung jawab ini menjadi terlena dan tertanam dalam bawah sadarnya kalau mencari uang adalah semudah itu. Tinggal klik, share dan perkenalkan anggota baru akan bisa dapat uang mudah. Masyarakat menjadi konsumtif, malas dan selalu ingin mengharapkan hasil instan dari setiap usahanya. Kerja sesedikit mungkin tetapi hasilnya besar,” kata Alfons.
Dia berharap, ke depan pemerintah lebih aktif mengawasi aksi yang kurang bertanggung jawab dan memberikan teguran keras agar platform digital tidak melakukan program yang pada dasarnya akan membuat malas dan membodohi masyarakat.
“Pemerintah harus peka dan mengawasi dengan ketat aksi yang dilakukan oleh platform digital di Indonesia dalam menjalankan aktivitas bisnisnya. Jika praktek yang dijalankan berakibat buruk membodohi masyarakat, pemerintah bisa melarang praktek tersebut dijalankan,” tegas Alfons.
Jangan Gunakan Pasal 372 dan 378 dalam Kasus Money Game
Anggota Komisi III DPR, Nasir Djamil berpendapat, aparat penegak hukum sebenarnya bisa menjerat pelaku penipuan skema Ponzi dengan menggunakan Undang-Undang tentang Perdagangan Nomor 7 tahun 2014 yang dengan tegas melarang penerapan skema Ponzi atau piramida.
“Kalau ada yang melanggar, sesuai pasal 105 pelakunya diancam dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp10 miliar,” ujarnya.
Politisi dari Fraksi PKS ini membandingkan, dalam beberapa kasus, pelaku money game dengan skema piramida hanya dijerat menggunakan KUHP pasal 372 tentang penggelapan dan pasal 378 tentang penipuan dimana ancaman hukumannya maksimal empat tahun penjara.
Selain itu, dengan penerapan pasal 105 UU Perdagangan, polisi bisa bergerak tanpa perlu menunggu jatuh korban. Sebab, beleid tersebut menganut delik umum (delik biasa) bukan delik aduan. Dengan demikian, Sehingga polisi bisa bergerak lebih responsif tanpa perlu menunggu skema piramidanya hancur dan menelan korban lebih dulu.
Dia mengungkapkan, delik aduan yang dianut pasal 372 dan 378 KUHP jarang berhasil menjerat para pelaku dan otak money game. Sebab, mereka sudah tahu suatu saat dan pada titik apa usahanya sudah tidak sanggup lagi membayar bonus dan mengembalikan dana pokok yang telah disetorkan korban-korbannya
“Rata-rata money game dengan skema piramida akan hancur dalam 1,5 tahun hingga tiga tahun sejak beroperasi. Di titik itulah mereka akan kabur. Kalau lapor, ya, sudah terlambat karena sudah kabur pemiliknya,” kata Nasir Djamil.
Juru bicara Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi keuangan (PPATK) M. Natsir Kongah mengatakan selain penerapan undang-undang perdagangan, pelaku scaming seperti skema ponzi bisa dikenakan sanksi sesuai UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) jika memang memenuhi persyaratan sesuai hukum yang berlaku.
"Mereka bisa dikenakan sanksi sesuai UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang pencegahan dan TPPU di Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5, dengan hukuman 20 tahun penjara dengan denda Rp 10 miliar. Efek hukuman yang lama dan denda yang besar diharapkan bisa membuat kapok para pelaku penipuan scaming atau dengan skema ponzi," kata M. Natsir Kongah kepada VOI melalui telepon gengggam, Selasa, 6 Februari.