Ali Sadikin Ogah Janji Tuntaskan Banjir Jakarta
JAKARTA - Ali Sadikin pernah berkata, banjir Jakarta adalah hal yang paling merepotkan tiap penguasa. Tak salah rasanya jika melihat sejarah banjir di Jakarta atau teropongan masa depan jika dilihat dari kaca mata Ali Sadikin, yang memimpin Jakarta pada periode 1966-1977. Ali bahkan menolak berjanji menuntaskan banjir Jakarta. Bukannya ia tak usaha. Namun banjir Jakarta memang sekompleks itu.
Pemerintah pusat begitu pelit waktu itu. Bagai tukang kelontong, pemerintah pusat mengeluarkan dana secara tambal sulam. Upaya penanggulangan banjir pun jauh dari maksimal. Penanggulangan banjir di Jakarta adalah sepotong kisah usang tentang Ibu Kota.
Sedari zaman penjajahan Belanda, usaha menanggulangi banjir telah dilakukan. Pemerintah kolonial sebenarnya sempat berhasil menanggulangi banjir. Namun hanya untuk sementara waktu. Keberhasilan itu sempat dicapai seorang insinyur Belanda, Herman van Breen yang menduduki posisi Ketua Tim Penyusun Rencana Pencegahan Banjir.
Banjir kanal di barat dan timur adalah ide Van Breen. Lebih lengkap terkait Herman van Breen telah kami ulas lewat artikel “Herman van Breen Membangun Banjir Kanal Barat untuk Kendalikan Air di Batavia”.
Pengendalian banjir Belanda, kata Ali Sadikin hanya untuk Batavia (Jakarta) yang berpenduduk 600 ribu sebelum tahun 1945. Di akhir jabatan Ali Sadikin, penduduk Jakarta sudah hampir menyentuh sepuluh kali lipat
Penanggulangannya pun banyak terkendala biaya. Sudah diestimasi kala itu, untuk mengatasi banjir Jakarta, pemerintah setidaknya memerlukan 800 juta dolar. Jumlah yang tak mungkin dikeluarkan oleh pemerintah Jakarta ataupun pemerintah pusat.
“Bahaya banjir Jakarta, begitulah kami berpendapat di masa saya jadi gubernur, tidak bisa dihindarkan sampai kapan pun, selama kita tidak mengadakan sistem drainase yang sempurna. Untuk mengatasi bahaya itu dengan tuntas, biayanya mahal, terlalu mahal. Biaya yang diperlukan, waktu itu, 800 juta dolar kalau mau rampung mengatasinya,” tutur Ali Sadikin, dikutip Ramadhan K.H dalam buku Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977 (1992).
Sistem drainase yang sempurna, dijelaskan Ali Sadikin itu meliputi bagaimana sesegera mungkin mengalirkan air ke laut. Lantaran prasarana dan tata pengairan yang buruk, ungkapan Jakarta bebas banjir adalah pepesan kosong belaka.
Ali Sadikin pun hanya bisa mengandalkan Banjir Kanal Barat (BKB) untuk meminimalisir dampak dari banjir. Ia begitu ketergantungan. Setiap kali volume air naik, Ali Sadikin selalu keluar rumah dan nongkrong di Pintu Air Manggarai untuk mengawasi kanal banjir. Ali Sadikin begitu memerhatikan kondisi kanal banjir, termasuk mengawasi volume air.
Ia pernah berkata, jika kanal banjir bobol, maka hancurlah Kota Jakarta dikoyak-koyak air bah. Pemerintah harus pandai mengatur air yang masuk ke sungai Ciliwung. Mengamankan kanal banjir jadi tujuan utama.Tapi Ali enggan mengobral janji bahwa Jakarta akan bebas banjir. Apalagi, upaya yang dilakukan hanya jangka pendek.
“Gubernur Ali Sadikin pada tahun yang sama secara realistis mengatakan tidak mau menipu rakyat Jakarta dengan menjanjikan kota ini akan bebas banjir selama biaya tidak memungkinkan. Berdasarkan perhitungan 1973, Rencana Induk Pengendalian Banjir DKI untuk biaya pekerjaan pengendalian banjir baik makro maupun mikro memerlukan kurang lebih 450 miliar. Untuk pekerjaan makro pembuatan dua banjir kanal (timur dan barat), waduk-waduk rumah-rumah pompa sebesar 207.5 miliar, dan pekerjaan mikro seperti drainase dan sanitasi riolering mencapai 242 miliar,” ungkap laporan dalam surat kabar Sinar Harapan pada 7 April 1984.
Upaya Ali Sadikin tangani banjir
Sekalipun rencana penanggulan banjir terhambat pendanaan, Ali Sadikin tak menyerah. Ia tetap rutin melakukan pola rehabilitas jangka pendek untuk menanggulangi ancaman banjir. Beberapa di antaranya adalah pengerukan muara-muara sungai, normalisasi sungai-saluran, pembuatan waduk, penampungan air, dan pemasangan instalasi-instalasi pompa pembuangan air.
Untuk memperlebar aliran sungai, Ali Sadikin mengeluarkan keputusan pada tanggal 16 Februari 1976 yang mengatur masalah ketertiban bantaran sungai. Keputusan tersebut berisi pembersihan terhadap bangunan yang berada di wilayah bantaran sungai.
Dikutip Restu Gunawan dalam buku Gagalnya Sistem Kanal (2010), wilayah pembersihan meliputi kawasan bantaran sungai tepi kiri dan kana sungai Ciliwung. Dari kanal banjir sampai pintu air Kapitol di Jakarta Pusat. Kemudian penggusuran bangunan dilakukan sepanjang 2,4 kilometer di bantaran sungai pada tahun 1976. Penggusuran itu berimbas hilangnya tempat tinggal dari 37.500 kepala keluarga.
“Ali Sadikin juga menginstruksikan kepada Wali Kota Jakarta Barat dan Jakarta Pusat untuk selambat-lambatnya pada 10 Februari 1977, membersihkan pinggiran Sungai Cideng dan kanal banjir dari bangunan liar. Namun, karena normalisasi sungai kurang sempurna, air masih merembes ke perkampungan,” ujar Restu Gunawan.
Program-program itu terhitung berhasil. Kendati demikian, keberhasilannya hanya pada pencegahan banjir di kampung-kampung saja, tidak mencegah banjir Jakarta secara keseluruhan. Hal ini juga yang membuat Jakarta tetap rentan dihadapkan oleh masalah banjir pada tahun-tahun mendatang. Untuk menghadapi banjir Jakarta Ali menyarankan kepada penerusnya untuk menguatkan sinergitas antara pemimpin pusat, daerah, hingga masyarakat setempat.
“Semua usaha itu paling tidak saya harapkan dapat menggugah perhatian masyarakat terhadap seriusnya masalah ini. Momentum pelaksanaan program perbaikan kampung saya gunakan untuk menggerakkan ikut serta masyarakat. Pemeliharaan saluran-saluran pembuangan air yang telah saya bangun harus menjadi tanggung jawab mereka pula. Bagi kota sepadat dan semiskin Jakarta, pemeliharaan kualitas lingkungan hanya bisa dilaksanakan dengan partisipasi masyarakat,” tutur Ali Sadikin dalam buku Gita Jaya (1977).