Tether Ngambek Gara-gara PBB Sebut USDT Jadi Sarana Pencucian Uang
JAKARTA - Tether, penerbit stablecoin USDT, membantah tuduhan yang dilontarkan oleh Kantor Narkoba dan Kejahatan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam laporan yang dirilis pada 15 Januari 2024. Laporan tersebut mengklaim bahwa Tether adalah "saran paling populer bagi pencuci uang berbasis kripto di wilayah Asia Tenggara."
Informasi saja, stablecoin adalah jenis mata uang kripto yang nilainya stabil karena dipatok pada aset lain, seperti mata uang fiat atau emas. USDT adalah stablecoin yang nilainya setara dengan dolar AS. Koin milik Tether ini merupakan salah satu stablecoin terbesar berdasarkan kapitalisasi pasar. USDT dikembangkan di blockchain Ethereum, menggunakan standar token ERC-20.
Tether merilis tanggapan resmi yang mengecam laporan PBB "tidak akurat, tidak adil, dan tidak berimbang." Perusahaan tersebut menyatakan bahwa laporan tersebut mengabaikan peran positif USDT dalam "membantu perkembangan ekonomi di pasar-pasar negara berkembang" dan "meningkatkan inklusi keuangan dan aksesibilitas bagi jutaan orang."
Tanggapan tersebut juga menyoroti kerja sama Tether dengan berbagai lembaga penegak hukum global, seperti Departemen Kehakiman Amerika Serikat (DOJ), Biro Investigasi Federal (FBI), dan Layanan Rahasia Amerika Serikat (USSS), untuk memerangi aktivitas ilegal dan penggunaan kripto oleh pelaku jahat.
Tether mengklaim bahwa kerja sama tersebut memastikan pemantauan yang ketat dan melampaui sistem perbankan tradisional yang "selama beberapa dekade menjadi sarana pencucian sejumlah besar uang yang terbukti melalui denda yang telah dikenakan pada mereka."
Baca juga:
- Tether Cetak Satu Miliar USDT untuk Perkuat Cadangan, Komunitas Kripto Pertanyakan Transparansi Stablecoin Ini
- Para Penjahat Kamboja Manfaatkan Stablecoin USDT untuk Alat Transaksi, Otoritas Kewalahan
- Kawasan Asia Tenggara Jadi Sarang Pencucian Uang dengan Memanfaatkan Stablecoin USDT Tether, Menurut Laporan PBB
Selain itu, Tether menekankan bahwa stablecoin USDT menggunakan blockchain publik yang memungkinkan pelacakan setiap transaksi, menjadikannya "pilihan yang tidak praktis untuk aktivitas ilegal." Dalam sebuah wawancara, CEO Tether, Paolo Ardoino, menyatakan, "Secara praktis, Tether adalah pilihan terburuk untuk melakukan aktivitas ilegal."
Tether juga memberikan contoh konkret bagaimana perusahaan tersebut telah membantu DOJ dalam memerangi aktivitas ilegal dan penggunaan kripto oleh pelaku kriminal. Pada November 2023, Tether membekukan lebih dari 225 juta token USDT yang terkait dengan sebuah organisasi ilegal yang terlibat dalam perdagangan manusia dan penipuan di Asia Tenggara.
Organisasi tersebut menggunakan USDT untuk mentransfer dana dari korban ke pelaku, dan juga untuk membeli aset kripto lainnya. Tether bekerja sama dengan Chainalysis, sebuah perusahaan analisis blockchain, untuk memantau pasar sekunder dan melacak aliran dana ilegal tersebut. Tether juga membekukan lebih dari 300 juta dolar AS atau sekitar Rp 4,7 triliun (Rp 15.636,80 per USD) dalam beberapa bulan terakhir, menunjukkan komitmen perusahaan tersebut untuk melawan penggunaan kripto untuk kejahatan.
Tether juga mengajak PBB untuk berpartisipasi dalam dialog kolaboratif yang sudah terbukti berhasil dengan puluhan lembaga penegak hukum global. Tether percaya bahwa pendidikan blockchain memainkan peran krusial dalam melawan kejahatan keuangan dan bahwa PBB seharusnya fokus pada "bagaimana stablecoin terpusat dapat meningkatkan upaya anti-kejahatan keuangan" daripada hanya berfokus pada risikonya saja.
Tether menutup tanggapan mereka dengan menegaskan bahwa pihaknya akan tetap transparan, dilansir CryptoBasic. “Tether tetap teguh dalam mempromosikan transparansi dan akuntabilitas dalam mata uang digital.”