Antara Kepentingan Asing di Pilpres 2024 dan Konflik Laut China yang Belum Usai
JAKARTA – Dugaan adanya intervensi atau campur tangan negara-negara lain dalam setiap pelaksanaan Pemilihan Presiden (Pilpres) termasuk di tahun 2024 selalu menyeruak. Pasalnya, posisi Indonesia yang sangat strategis membuat negara-negara lain terutama negara adidaya berkepentingan dengan kebijakan pemerintah ke depan.
Salah satu poin yang dinilai cukup penting dalam debat capres ke-3, Minggu 7 Januari 2024 adalah bagaimana pandangan ketiga capres terkait konflik Laut China Selatan. Konflik yang tak kunjung usai ini memang menjadi sorotan dunia karena selain melibatkan negara-negara ASEAN, juga menyeret dua negara adidaya, Amerika Serikat dan China.
Terkait konflik Laut China Selatan, capres nomor urut 3 Ganjar Pranowo menekankan perlunya mengevaluasi langkah-langkah sebelumnya yang tidak berhasil menyelesaikan konflik, seperti DOC (Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea) sudah dengan COC (code of conduct) yang telah berlangsung selama lebih dari 20 tahun tanpa penyelesaian yang jelas.
“Maka usulan kami sangat jelas dan clear. Apa itu? Kesepakatan sementara? Kenapa kesepakatan sementara ini mesti kita dorong dan kita inisiatif agar kita bisa mencegah sesuatu yang tidak kita inginkan,” ujarnya.
Ganjar juga menyoroti bahwa modernisasi peralatan di China yang dijadwalkan akan selesai pada tahun 2027, akan memiliki implikasi besar. Dalam konteks kebijakan One China, Ganjar memperkirakan bahwa seluruh dunia akan mengakui peran penting China.
Dengan semakin kuatnya peran China, mungkin akan timbul potensi konflik dengan negara-negara lain. Meskipun kemungkinan terjadinya konflik Laut Cina Selatan tidak mencapai Indonesia, Ganjar menyadari adanya dampak yang mungkin dirasakan oleh Indonesia di berbagai aspek.
“Maka inilah titik-titik penting yang musti kita dorong dan kita akan bisa membawa posisi inisiatif ini untuk membuat kesepakatan sementara untuk menghindari potensi-potensi yang lebih tinggi. Kita akan meredam (Konflik Laut Cina Selatan) dengan cara ini,” terangnya.
Capres nomor urut 1, Anies Baswedan justru menekankan peran penting ASEAN dalam menyelesaikan persoalan tersebut. Ia menggarisbawahi bahwa Indonesia, sebagai negara terbesar dan pendiri ASEAN, harus menjadi pemimpin yang dominan dalam kerangka ASEAN.
“Karena kekuatan luar Asean ini maka kita menghadapinya sebagai satu regional bukan sekadar Indonesia berhadapan dengan negara lain tapi satu region dan Indonesia pemimpin ASEAN itu kata kuncinya menurut saya,” kata Anies.
Capres nomor urut 2, Prabowo Subianto menilai bahwa pertahanan yang kuat dalam menghadapi tantangan Laut China Selatan adalah hal yang paling utama. Ia menekankan perlunya memiliki kekuatan pertahanan yang kuat, termasuk platform untuk patroli dan satelit.
“Jadi keadaan LCS, saya menggarisbawahi bahwa kita perlu kekuatan pertahanan yang kuat, kita perlu platform untuk patroli kita perlu satelit, kita perlu banyak sekali. Dan untuk itu pertahanan harus kita bangun,” tegasnya.
Belum Ada Solusi untuk Konflik Laut Cina Selatan
Melalui keterangan tertulis, Senin 8 Januari, dosen Ilmu Hubungan Internasional Unpad, Teuku Rezasyah menilai jika solusi yang ditawarkan oleh ketiga capres terkait konflik Laut China Selatan kurang mendalam dan tidak komprehensif.
“Kesepakatan sementara (yang ditawarkan Ganjar) seperti apa? Apakah meningkatkan level kerja sama militer di dalam ASEAN atau untuk sementara waktu mengizinkan kerja sama baru dengan luar ASEAN? Ini kan harus jelas,” tukasnya.
Menurut Rezasyah, solusi yang ditawarkan Anies juga tidak dijelaskan lebih lanjut bagaimana blok Asia Tenggara itu dapat memperkuat kerja sama pertahanannya. ASEAN saat ini telah memiliki sejumlah forum pertahanan yang dapat menjadi wadah untuk meningkatkan kerja sama tersebut.
Forum-forum itu, seperti Pertemuan Menteri Pertahanan ASEAN (ADMM) dan pertemuan para kepala staf pertahanan negara-negara anggota ASEAN, telah membahas berbagai isu pertahanan, termasuk keamanan maritim.
“Kemudian, Pak Prabowo soal penguatan TNI itu kan harus disetujui oleh parlemen. Tentu harus ada analisis kebutuhan,” tambah Rezasyah.
Pengamat militer, hankam dan intelijen, Connie Rahakundini Bakrie mengungkapkan, medan konflik di sekitar Indonesia seperti Laut China Selatan berpotensi menjadi pintu masuk campur tangan atau intervensi asing di tanah air, termasuk Pilpres 2024.
Dia menyatakan, posisi Indonesia yang sangat sentral dan strategis membuat kebijakan pemerintah mendatang menjadi obyek tarik menarik antara kubu barat dan timur.
“Dari dulu campur tangan asing di Indonesia sebenarnya sudah ada. Apa yang dialami Soekarno dulu yang kemudian disikapi dengan Gerakan Nonblok. Saat ini ada isu Laut China Selatan yang dekat dengan Indonesia, belum lagi dampak perang Rusia dan Ukraina yang masih berlangsung,” imbuhnya.
Menurut Connie, keterlibatan AS dan China di konflik Laut China Selatan membuat “medan perang” itu sekarang bergeser ke Indonesia. Dia justru khawatir, konflik kedua negara adidaya baik Laut China Selatan dan Selat Taiwan merupakan isu sementara, dan target sebenarnya adalah Papua.
Karena itu, dia berharap pemerintah Indonesia ke depan bisa lebih bijak menyikapi ketegangan antara Amerika Serikat dan Tiongkok. Connie mencontohkan di tahun 2022 AS pernah memprovokasi China dengan membiarkan Nancy Pelosi berkunjung ke Taiwan yang sangat membahayakan kawasan Laut China Selatan dan Asia Tenggara.
“Kalau dulu China terpancing, maka akan menjadi alasan untuk meningkatkan konsolidasi AUKUS yang sedang dilakukan di kawasan ini. Jadi Aliansi militer baru antara Amerika, Australia dan Inggris akan ada alasan untuk masuk ke Laut China Selatan, seperti NATO masuk ke Ukraina,” tuturnya.
Connie mengingatkan, jika AS mampu melakukan itu di Taiwan, maka tidak menutup kemungkinan mereka bisa melakukan hal serupa dengan mendukung Papua lepas dari Indonesia. “Seperti pada Taiwan, tanpa eskalasi apapun, AS intervensi membiarkan Pelosi masuk ke Taiwan. Ini bisa dilakukan juga di Papua Ingat ya beberapa aliansi militer sudah disiapkan AS di kawasan kita. Ada AUKUS, ada THE QUAD dan lainnya,” imbuhnya.
Baca juga:
Waspada Intervensi Asing di Pilpres
Guru Besar Hukum Internasional UI, Hikmahanto Juwana juga menilai ada potensi campur tangan asing yang bisa berdampak krusial di Pilpres 2024. Karena itu, dia meminta semua pihak mewaspadai adanya intervensi asing dalam Pilpres 2024.
“Sering kali tangan-tangan luar negeri bermain baik secara inkonstitusional atau konstitusional. Pasti kaya begitu, kita tidak bisa menafikan hal tersebut,” ungkapnya.
Koordinator Panelis Debat Capres Ke-3 ini menyebut, beberapa negara kadang ingin mendikte siapa yang harus menjadi pemimpin di negara lain dan aksi itu erat hubungannya dengan permainan intelijen. “Misalnya di Amerika Serikat ada dugaan bahwa Rusia di belakang ini,” imbuhnya.
Hikmahanto juga mencontohkan hal lainnya, yakni calon pemimpin di negara tetangga yang mendapat dana kampanye. Tangan asing itu berharap pemimpin terpilih nantinya lebih lunak terhadap kepentingannya meski kontroversial.
“Kita tahu di Indonesia dulu Bung Karno diganti Pak Harto. Kita katakan prosesnya di Indonesia, tapi dari dokumen yang bisa dibuka ada peran AS melalui CIA. Karena itu, mari kita waspada adanya tangan asing yang ikut campur agar pemimpin terpilih betul-betul memperjuangkan kepentingan masyarakat Indonesia,” tandasnya.
Adanya intervensi atau campur tangan asing menjelang pilpres di Indonesia juga diungkap mantan politisi PDI Perjuangan, Zulpan Lindan yang berbagi pengalamannya menjelang Pilpres 2004. Dia bercerita, pada tahun 2003 saat berada di kediaman Megawati yang kala itu menjadi presiden, dia bersama alm. Taufik Kiemas dihampiri Megawati yang keluar dari dalam kamar.
Megawati, lanjut Zulpan, mengungkapkan baru menerima telepon dari Presiden AS saat itu, George W Bush. Menurut Megawati, Bush memintanya mengeluarkan pernyataan resmi bila Indonesia mendukung serangan militer AS ke Irak. Permintaan itu langsung ditolak Megawati dengan alasan harus berkonsultasi dengan DPR.
“Bu Mega bilang setelah menolak, Bush langsung menutup teleponnya. Setelah Bu Mega masuk ke kamar lagi, Pak Taufik Kiemas bilang ke saya kalau kita tidak usah mikir lagi Megawati bisa dua periode karena pasti selesai di 2004. Mungkin Pak Taufik sudah feeling, pasti ada operasi intelijen dari negara besar untuk menggagalkan Megawati menjadi presiden di 2004 karena menolak mengakomodir keinginan mereka,” beber Zulpan.
Dia menyatakan, menjelang Pilpres 2024, negara-negara besar pasti sudah memantau para capres yang ada dan sudah menentukan dengan siapa mereka merasa nyaman. Dia mencontohkan, negara seperti Amerika Serikat pasti ingin merasa nyaman dengan pemerintahan mendatang terutama soal konflik di Laut China Selatan.
“Di isu Laut China Selatan ini kita kan terus diajak, pertama netral kemudian digiring untuk cenderung berpihak. Mungkin dengan adanya latihan-latihan militer bersama, kita bisa dianggap tidak netral lagi tapi cenderung berpihak ke AS,” tutup Zulpan