Restu Vatikan Terkait Humanisme, Bukan Pengakuan Pernikahan Sejenis
JAKARTA – Paus Fransiskus menyetujui terbitnya keputusan dari Vatikan yang menyatakan bahwa Pastor Katolik Roma bisa memberikan pemberkatan terhadap pernikahan sesama jenis.
Paus Fransiskus sebelumnya mengisyaratkan bahwa perubahan resmi sedang diupayakan pada Oktober lalu, sebagai respons atas pertanyaan yang diajukan oleh lima Kardinal konservatif pada awal masa sinode para Uskup di Vatikan.
Dokumen dari kantor doktrin Vatikan yang dilansir Reuters, Selasa 19 Desember lalu memang secara efektif membatalkan deklarasi tahun 2021 tentang pasangan sesama jenis. Namun, dokumen itu menyebut jika pemberkatan hanya bisa diberikan selama mereka tidak menjadi bagian dari ritual atau liturgi reguler gereja.
Sebab, pemberkatan semacam itu tidak akan melegitimasi situasi yang tidak biasa, hanya menjadi tanda bahwa Tuhan menyambut baik semua orang. Artinya, pemberkatan itu tidak bisa disamakan dengan sakramen pernikahan heteroseksual. Selain itu, para pastor juga harus mengambil keputusan berdasarkan kasus per kasus.
Dokumen setebal delapan halaman yang dirilis pada Senin (18/12) waktu setempat, memiliki subjudul “Tentang Makna Pastoral dari Pemberkatan”, menguraikan situasi-situasi spesifik. Salah satu bagian yang terdiri atas 11 poin memiliki judul “Pemberkatan bagi Pasangan dalam Situasi Tidak Biasa dan Pasangan Sesama Jenis”.
Gereja mengajarkan bahwa ketertarikan terhadap sesama jenis bukanlah dosa, namun tindakan homoseksual adalah dosa. Sejak terpilih tahun 2013 lalu, Paus Fransiskus berusaha membuat gereja yang beranggota 1,35 miliar orang itu lebih ramah terhadap kelompok LGBT tanpa mengubah doktrin moral.
Meski Pastor Katolik Roma bisa memberi pemberkatan terhadap pasangan gay dan lesbian yang menikah, dokumen dari kantor doktrin Vatikan tetap mengatur syarat dan ketentuannya. Pada prinsipnya, Pastor Katolik Roma tidak boleh memberi pemberkatan dalam seremoni pernikahan sipil.
Pastor Katolik Roma tidak boleh memberi pemberkatan dalam sakramen pernikahan heteroseksual. Bentuk pemberkatan yang diberikan “tidak boleh ditetapkan secara ritual oleh otoritas gerejawi untuk menghindari kebingungan dengan pemberkatan yang sesuai dengan Sakramen Pernikahan”.
Disebutkan juga bahwa hal ini bisa diterapkan pada mereka yang tidak mengklaim legitimasi atas status mereka sendiri, namun memohon agar semua yang benar, baik, dan valid secara manusiawi dalam kehidupan mereka, dan hubungan mereka diperkaya, disembuhkan, dan ditinggikan dengan kehadiran Roh Kudus.
“Pada akhirnya, pemberkatan memberikan manusia sebuah sarana untuk meningkatkan kepercayaan mereka kepada Tuhan,” sebut dokumen tersebut.
Dalam dokumen Vatikan itu ditegaskan juga bahwa pemberkatan tidak boleh dikaitkan atau diatur waktunya dengan seremoni pernikahan sipil, dan dilakukan tanpa menggunakan pakaian, gerak tubuh, atau kata-kata yang pantas untuk sebuah pernikahan. Selain itu, tempat untuk pemberkatan hanya mungkin dilakukan dalam konteks lain, seperti kunjungan ke tempat suci, pertemuan dengan pastor, pembacaan doa dalam kelompok, atau selama ziarah.
Meski dokumen tentang pemberkatan pasangan sesama jenis resmi dikeluarkan kantor doktrin Vatikan, ternyata tidak serta merta diamini Gereja-Gereja Katolik. Gereja Katolik Ukraina contohnya. Kepala Gereja Katolik Ukraina dengan tegas menyatakan jika pemberkatan pada pasangan sesama jenis tidak akan diterapkan di gereja dan pengajarannya.
Baca juga:
Uskup Agung Mayor Sviatoslav Shevchuk menilai, dokumen Vatikan tersebut menafsirkan makna pastoral dari pemberkatan dalam Gereja Latin, namun tidak merujuk pada isu-isu yang mengatur gereja timur atau Gereja Katolik Yunani.
“Deklarasi ini hanya berlaku pada Gereja Latin dan tidak ada paksaan hukum untuk jemaat Gereja Katolik Yunani Ukraina,” ujarnya dikutip dari Reuter, Minggu 24 Desember.
Shevchuk menegaskan, pemberkatan tidak bisa dipisahkan dan bertolak belakang dari ajaran Gereja Katolik mengenai keluarga sebagai kesatuan cinta yang setia, tak terpisahkan, dan subur antara seorang pria dan seorang wanita.
Kritikan atas keputusan Vatikan juga muncul dari kalangan konservatif dalam gereja, yang sebelumnya mengkritik Paus Fransiskus ketika dia menyampaikan komentar pertama soal masalah ini pada Oktober lalu. Seorang profesor teologi pada Universitas Notre Dame di Amerika Serikat, Ulric L Lehner, menilai panduan terbaru dari kantor doktrin Vatikan itu mengundang kesalahpahaman dan akan menabur kebingungan.
Lehner menyuarakan kekhawatiran bahwa sejumlah Uskup akan menggunakan keputusan itu sebagai alasan untuk melakukan hal yang secara eksplisit dilarang. “Hal ini, dan saya benci untuk mengatakannya, merupakan undangan untuk skisma (perpecahan agama),” imbuhnya.
Lantas, bagaimana di Indonesia sendiri? Romo Benny Phang Ocarm mengungkapkan, deklarasi ini memang sudah menciptakan pro dan kontra. Karena itu, dia menegaskan bahwa deklarasi tersebut adalah soal pemberkatan bukan perkawinan.
“Ini adalah pemberkatan pribadi, bukan pemberkatan relasi mereka. Dari mereka dituntut pemahaman yang baik akan makna sebuah pemberkatan,” tukas Romo Benny.
Dia menjelaskan, pemberkatan pasangan sesama jenis adalah untuk pribadi dan tidak melegitimasi status hidup. Pemberkatan ini, disebut bukan pemberkatan dengan ritus liturgis tertentu, atau semi-liturgis, atau yang menyerupai sakramen. “Tetapi pemberkatan yang bersifat spontan,” sambungnya.
Selain itu, untuk menghindari kesalahpahaman, publik juga harus memahami bila deklarasi dengan jelas melarang pemberkatan ini dalam bersamaan dengan pencatatan sipil, atau semua hal yang berkaitan dengan itu.
“Inilah logika dasar bahwa tidak boleh ada pemberkatan liturgis dengan ritus tertentu semua praktik cara hidup yang bertentangan dengan makna perkawinan. Termasuk di dalamnya segala bentuk persatuan (union) yang mirip perkawinan atau yang di luar perkawinan. Big No!” tegas Romo Benny.