Memori Hari Ini: Indonesia Tandatangani Konvensi Antikorupsi PBB di New York, 18 Desember 2003

JAKARTA – Memori hari ini, 20 tahun yang lalu, 18 Desember 2003, pemerintah Indonesia resmi menandatangani Konvensi Antikorupsi (UNCAC) PBB. Penandatangan itu dilanggengan di Markas Besar PBB, New York, Amerika Serikat (AS). Hasil konvensi itu coba diratifikasi sebagai produk hukum.

Suatu ajian yang dapat memudahkan Indonesia mencari aset koruptor di luar negeri. Sebelumnya, kepemimpinan Megawati Soekarnoputri jadi penanda baru perlawanan Indonesia terhadap korupsi. Ia membangun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Korupsi pernah merajalela di Indonesia. Narasi itu langgeng karena korupsi dilakukan secara berjamaah. Di era Orde Baru (Orba), utamanya. Perlawanan terhadap korupsi sukar terdengar. Pemerintah juga kurang tegas. Semuanya berubah kala Orba lengser.

Keinginan tokoh bangsa era reformasi memberantas korupsi memuncak. Mereka ingin menghadirkan sebuah lembaga khusus yang memerangi korupsi. Pendirian KPK pun digodok. Megawati kemudian mewujudkan inisiasi itu ke dalam sebuah produk hukum.

Produk UU nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Tindak Pindana Korupsi pun lahir pada 27 Desember 2002 pun hadir. Amanat UU itu jelas. Megawati ingin membentuk KPK. Pun Megawati ingin KPK muncul sebagai lembaga independen.

Majelis Umum PBB dalam Sidang Kovensi Antikorupsi di New York, AS pada 31 Oktober 2003. (UN Photo/Eskinder Debebe)

Suatu lembaga yang nantinya dalam dapat bekerja dengan leluasa memberantas korupsi tanpa ditunggangi kepentingan lain. Namun, pendirian KPK tak mudah. Pemerintah mulai menyiapkan pelan-pelan lembaga ini, dari membangun sistem hingga standar operasi.

Hasilnya, menggelegar. KPK jadi momok bagi pejabat korup. Barang siapa yang merugikan negara dengan jumlah besar senantiasa akan diintai KPK. Kondisi itu membuat ajian menggembosi KPK muncul ke permukaan. KPK ingin gembosi supaya tak memiliki wewenang besar menyusuri korupsi.

“Didirikan atas perintah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 pada 27 Desember 2002, jalan KPK memang panjang dan berdarah. Dimulai dari nol, lembaga ini pelan-pelan menyiapkan diri. Tim pengintai, yang selama ini hanya dimiliki polisi, tentara, dan badan intelijen, dibentuk. Tim dengan dukungan teknologi tinggi ini belakangan terbukti mujarab menangkap tangan para koruptor.”

“Para penyidik direkrut, termasuk dari kepolisian dan kejaksaan-dua lembaga yang selama ini juga tak dikenal bersih. Sistem dibentuk, standar operasi disusun, termasuk dengan cara mengawasi para pekerja KPK dengan saksama. Pengawasan dan indoktrinasi internal membuat "yang buruk" bisa dijadikan "baik". Polisi dan jaksa yang bekerja di KPK pelan-pelan menyadari bahwa korupsi tak bisa terus-menerus dilindungi,” tertulis dalam laporan Majalah Tempo berjudul Sebuah Ikhtiar Satu Dasawarsa (2012).

Pemerintah Indonesia terus memperkuat pemberantasan korupsi di Indonesia. Keseriusan itu dibuktikan dengan hadirnya Indonesia dalam Konvensi Antikorupsi PBB. Indonesia bahkan diwakili langsung oleh Menteri Kehakiman dan HAM, Yusril Ihza Mahendra menandatangi Konvensi Antikorupsi PBB di New York, AS pada 18 Desember 2003.

Penandatangan itu diharapkan jadi ajian baru pemberantasan korupsi di Indonesia. Pengembalian aset koruptor di luar negeri yang dulunya sukar kini dapat dilanggeng. Apalagi, Kemudian hasil konvensi itu diratifikasi Indonesia ke dalam UU Nomor 7 Tahun 2006 tentang pengesahan UNCAC 2003.

“Ini yang pertama bahwa urusan mengadili koruptor dan melacak uang rakyat yang dilarikan ke luar negeri bukan lagi melulu perkara negara bersangkutan, melainkan melibatkan campur tangan pihak luar, yakni PBB. Badan PBB yang khusus menangani adalah United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) yang berkantor di Vienna. Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra telah bertindak sebagai wakil Pemerintah RI dalam menandatangani konvensi pada tanggal 18 Desember 2003 di New York,”

“Indonesia, seperti halnya ratusan negara yang ikut menandatangani konvensi, sadar bahwa korupsi telah menjadi bentuk kejahatan tinggi yang mewabah di seluruh dunia dan paling terkena adalah negara-negara yang lemah penegakan hukumnya. Bukan hanya dana dari negeri sendiri yang dikorup oknum pejabat, terlebih lagi dana pinjaman (dari luar negeri dan dalam jumlah besar) yang sangat dibutuhkan masyarakat negara berkembang justru digelembungkan dan diselewengkan pejabat pelaku korupsi,” tertulis dalam laporan surat kabar Kompas, 20 Desember 2023.