Donald Trump Jadi Pengganggu Moderator Debat Capres AS

JAKARTA - Kehadiran Donald Trump sebagai Calon Presiden (Capres) Amerika Serikat (AS) penuh dinamika. Trump secara lihai memanfaatkan pandangan konservatifnya untuk menang. Pandangan itu membuat Trump mampu menyerang ragam pakar dan juga lawannya dalam kontestasi Pilpres AS pada 2016 dan 2020.

Andil itu diperlihatkan Trump kala hajatan debat resmi dengan penantangnya macam Hillary Clinton atau Joe Biden. Semuanya dilawan Trump dengan membabi buta. Bahkan, moderator kerap kena getah dan kewalahan.

Popularitas Trump dalam dunia bisnis dan hiburan tak perlu diragukan. Beda hal di gelanggang politik. Nama Trump tak lebih populer dibanding politikus kenamaan lainnya. Namun, Dewi Fortuna mendatangi Trump pada saat Pilpres AS 2016.

Ia diunggulkan melaju sebagai orang nomor satu AS via Partai Republik. Karisma Trump sebagai politikus mulai dikemas dengan serius. Ia mampu jadi figur yang membawa warna baru bagi peta politik AS. Semuanya karena Trump kerap meramu pandangan konservatif sebagai siasat.

Laku hidup itu mendekatkan Trump dengan banyak kontroversi. Ia mulai membangkitkan bayang kemarahan dan kebencian masa lalu. Trump membawa angin kecurigaan kepada mereka kaum kulit, dari kulit hitam, kuning, atau coklat. Pun ia ingin umat Muslim sedunia dilarang masuk AS.

Donald Trump melawan Hillary Clinton pada Pilpres AS 2016. (Wikimedia Commons)

Nilai-nilai LGBT dalam kehidupan di AS coba direduksi. Trump bahkan menggunakan doktrin agama bak ajian memusuhi kaum LGBT. Imigran-imigran dari Amerika Latin turut ditolak Trump. Alih-alih hanya memanen kecaman, nyatanya pandangan itu membuat Trump memperoleh dukungan luas.

Semuanya karena Trump mengemas kampanyenya dengan jargon Make America Great Again (MAGA). Pandangan Trump itu nyatanya juga menghadirkan kecaman dari sana-sini. Banyak di antara pakar melanggengkan kritik terhadap Trump. Dari pakar kebijakan publik hingga tata negara.

Donald Trump menganggap kritikan itu hanya angin saja. Trump tetap pada pendiriannya mengembalikan martabat dan nilai-nilai tradisional rakyat AS. Sekalipun kampanyenya menyakiti ras atau agama lainnya yang hidup di AS.

“Di debat-debat sebelumnya, Trump seringkali kehilangan kata-kata mengenai isu dasar kebijakan publik, dan dia menyerang balik. Mereka berkata, Oh, Trump tidak punya pakar, katanya kepada yang hadir. Anda tahu, saya selalu ingin mengatakan ini... Pakar itu payah. Mereka bilang, Donald Trump perlu penasihat kebijakan luar negeri. Tapi misalnya saya tidak punya penasihat, apakah akan lebih buruk dibanding yang sedang saya lakukan sekarang?”

“Ejekan Trump kepada pakar menyentuh nilai yang sudah lama dirasakan oleh warga Amerika, yaitu pakar dan intelektual bukan hanya mengatur kehidupan orang-orang biasa, melainkan juga melakukannya dengan buruk. Kemunculan Trump pada 2016 adalah buah banyak faktor, sebagian (seperti jumlah kandidat yang banyak untuk hanya satu pemenang dalam sistem pemilihan plural) murni masalah keadaan,” terang Tom Nichols dalam buku Matinya Kepakaran (2022).

Moderator Debat Kewalahan

Citra Donald Trump yang nyeleneh dan meremehkan lawan politiknya terus berlanjut. Hal itu terlihat dalam debat kedua Capres AS pada 9 Oktober 2016. Kala itu Trump tampak siap menghadapi lawan dari Partai Demokrat, Hillary Clinton.

Debat pun dipandu oleh dua moderator kesohor. Pertama, Martha Raddatz dari ABC News. Kedua, Anderson Cooper dari CNN. Debat itu tak hanya diisi oleh saling serang Trump kepada Hillary, tapi juga ikut mengganggu jalannya debat dengan mendebat moderator.

Trump kerap melanggengkan protes terhadap moderator. Protesnya di luar konteks pula. Ambil contoh, Trump menganggap moderator justru memihak kepada lawannya Hillary. Raddatz dianggap meributkan pendapat Trump lewat sedikit dari batas yang ditentukan. Sedang Hillary dibolehkan.

Donald Trump yang pernah menjabat sebagai Presiden AS era 2017-2021. (Wikimedia Commons)

Perilaku itu ditunjukkan Trump sepanjang perdebatan. Trump juga sempat dicecar moderator terkait keinginannya yang melarang kaum Muslim masuk AS. Alhasil, Trump menjawab ketus dan meminta moderator untuk menanyakan Hillary terkait kontroversinya.

Rakyat AS pun bak tak mendapatkan inti dari perdebatan. Namun, kondisi itu dianggap menguntungkan Trump. Banyak orang yang mulai memujanya. Trump dianggap bak simbol keberanian. Orang yang berani mendobrak sistem dan pendapat pakar yang dianggapnya kuno.

Kondisi itu tak jauh berubah kala Trump jadi petahana dan ikut kontestasi Pilpres 2020. Debat Capres pertamanya dengan Joe Biden menghebohkan seisi AS pada 30 September 2020. Debat itu dianggap paling brutal oleh rakyat AS. Trump menyerang segala macam kebijakan yang didengungkan Joe Biden.

Trump tak lupa mendebat moderator Chris Wallace dari Fox News Sunday. Moderator yang pernah berpartisipasi pada debat tahun 2016, kena getahnya meladeni Trump. Banjir interupsi pun terjadi. Trump justru mencecar Chris Wallace dengan pertanyaan-pertanyaannya di luar konteks.

Kondisi itu membuat Donald Trump bak berdebat dengan moderator, ketimbang Joe Biden. Wallace pun jadi kapok dengan ulah Trump. Ia pun merasa kewalahan menjadi moderator. Sekalipun kemudian Trump kalah dalam Pilpres 2020.

“Perilaku intimidasi yang dilakukan Trump tidak memiliki preseden yang jelas dalam debat calon presiden, bahkan debat yang sebelumnya dimoderatori oleh Wallace, pada tahun 2016. Dalam wawancara tersebut, Wallace mengatakan bahwa ketika Trump pertama kali berinteraksi langsung dengan Biden. Wallace mengungkap saya pikir ini hebat – ini adalah perdebatan.”

“Namun karena Trump kerap mengintrupsi tidak menunjukkan tanda-tanda akan mundur, Wallace jadi semakin khawatir. Jika saya tidak mencoba mengendalikan perdebatan – yang saya sendiri tidak tahu apakah saya benar-benar melakukannya – maka perdebatan itu akan keluar jalur,” kata Wallace sebagaimana dikutip Michael M.Grynbaum dalam tulisannya di laman The New York Times berjudul Chris Wallace Calls Debate ‘a Terrible Missed Opportunity’ (2020).