Sejarah UU ITE: Megawati Ajukan Draf, Disahkan SBY, Berlanjut Sampai Era Jokowi

JAKARTA - Kala itu di tahun 2003, di bawah pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, dua RUU, yakni RUU Tindak Pidana Teknologi Informasi dan e-Commerce digabung ke dalam satu naskah. Naskah itu kemudian diserahkan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Di sana, sejarah UU ITE dimulai.

Dikutip dari situs resmi Kominfo, pembahasan UU ITE dimulai pada 2005 hingga 2007, sebelum disahkan di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tahun 2008. UU ITE pada dasarnya dibagi jadi beberapa bagian.

Pertama, terkait e-Commerce. Bagian ini mengatur perkara marketplace. Bagian lain UU ITE mengatur soal tindak pidana teknologi informasi, dengan sub-bagian yang dimulai dari konten ilegal, unggahan bernuansa SARA, kebencian, hoaks, penipuan, pornografi, judi, hingga pencemaran nama baik.

Dalam sub-bagian lainnya diatur perihal akses ilegal, seperti hacking, penyadapan, serta gangguan atau perusakan sistem secara ilegal. Bagian inilah yang kerap jadi masalah.

UU ITE sejatinya sempat mengalami revisi pada tahun 2016. Kala itu, banyak kasus UU ITE yang ramai jadi perbincangan publik dan melibatkan figur publik. Ada kasus mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang; pengusaha, Hary Tanoesoedibjo; hingga Direktur Eksekutif Lokataru Foundation Haris Azhar.

Sayangnya, menurut Ketua Paguyuban Korban UU ITE (Paku ITE) M Arsyad, saat itu revisi tak menyentuh substansi UU yang justru bermasalah. "Yang kami sangat sayangkan, ternyata revisinya hanya fokus ke Pasal 27 ayat 3, yang di mana menurunkan ancaman hukuman dari enam tahun jadi empat tahun," katanya, dihubungi VOI, Rabu, 17 Februari.

"Itu yang kami sangat sesalkan, karena harapan kami, target kami adalah pencabutan, mengeluarkan pasal karet di UU ITE, karena kita berharap, karena itu sudah diatur di UU lain, lebih baik menggunakan itu (UU lain). Unsurnya lebih jelas," tambah dia.

Pasal bermasalah UU ITE

Jika dirinci, secara umum ada sejumlah pasal bermasalah, dimulai dari Pasal 27 hingga Pasal 29. Pasal-pasal di sana dianggap karet dan kerap dimanfaatkan penguasa sebagai alat pembungkam kritik.

Pasal 27

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.

(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian.

(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

(4) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman.

Pasal 28

(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.

(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Pasal 29

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi.

UU ITE hari ini

UU ITE pada dasarnya dibentuk untuk mengatur sistem perdagangan digital, termasuk penipuan berbasis online. Kala itu, dunia digital sudah memerlihatkan perkembangan. "Maka pemerintah melihat ada perlunya membuat peraturan," kata M Arsyad.

"Kita tidak tahu bagaimana ketika rapat pembahasan pemerintah 2008 aspek pidana itu masuk. Saat itu ada ramai demo," tambah Arsyad.

Lembaga nirlaba yang fokus pada isu kebebasan berekspresi, Safenet mencatat 324 kasus hukum yang menjerat masyarakat, dengan UU ITE sebagai instrumennya. Seluruh angka itu dicatat dalam kurun waktu 2016 hingga Oktober 2020.

Secara spesifik, Pasal 27 jadi yang paling berbahaya. Pasal yang mengatur perkara pencemaran nama baik ini jadi alat yang paling banyak digunakan dalam memerkarakan seseorang dengan UU ITE. Setelah Pasal 27, pasal lain yang banyak digunakan adalah Pasal 28 yang mengatur perihal ujaran kebencian.

Data Safenet mencatat korban UU ITE sebagian besar adalah jurnalis, aktivis, warga, artis, hingga tenaga pendidikan. Seluruh data ini dihimpun di periode 2008 hingga 2019. Dan pihak paling banyak memerkarakan orang lain dengan UU ITE adalah pejabat publik, instansi, dan aparat keamanan. Persentasenya mencapai 38 persen.

MEMORI Lainnya