Pelaku Korupsi APD Saat Pandemi COVID-19 Layak Dihukum Mati
JAKARTA – Penyidikan kasus dugaan korupsi pengadaan alat pelindung diri (APD) di Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang sedang dilakukan Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) mulai menjadi perhatian masyarakat, di tengah riuhnya lika-liku kasus yang menjerat Ketua KPK Firli Bahuri.
Firli baru saja ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya terkait kasus dugaan pemerasan terhadap mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo.
Di saat bersamaan, komisi antirusuah terus mengusut kasus dugaan korupsi APD saat pandemi COVID-19 di Kemenkes pada periode 2020-2022. Kabar terkini menyebutkan KPK telah melakukan penggeledahan beberapa lokasi yang berhubungan dengan kasus ini.
“Lokasi penggeledahan tersebut di antaranya kantor BNPB, Kantor Pusat Krisis Kesehatan Kemenkes, salah satu ruangan di Kantor LKPP dan rumah kediaman dari para pihak yang ditetapkan sebagai tersangka,” kata Juru Bicara KPK Ali Fikri, Selasa, 21 November 2023.
KPK mengaku telah mengantungi lima tersangka. Tapi yang menjadi pertanyaannya publik sekarang, apakah vonis hukuman mati akan dijatuhkan kepada tersangka yang telah merugikan negara ratusan miliar di tengah bencana?
Bukan yang Pertama
Perkara korupsi yang terjadi di masa pandemi COVID-19 bukan kali ini saja terjadi. Kita tentu masih ingat ketika KPK membongkar perkara korupsi dana bantuan sosial (bansos) pandemi di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabotabek) yang terungkap pada 2020.
Juliari Peter Batubara, yang saat pandemi COVID-19 menjabat sebagai Menteri Sosial, menerima suap lebih dari Rp32 miliar dari rekanan penyedia bansos di Kemensos. Jatah bansos yang mestinya utuh diterima warga ditilap tiap paketnya.
Akhirnya, mantan politikus PDIP ini dihukum 12 tahun penjara dan denda 500 juta subsidair enam bulan kurungan. Hakim juga menghukum Juliari membayar uang pengganti sebesar Rp14,5 miliar subsidair 2 tahun penjara dan pencabutan hak politik berupa dipilih dalam jabatan publik selama empat tahun usai terdakwa menjalani pidana pokok.
Hukuman yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) tidak serta merta memuaskan publik. Perasaan geram karena ada sosok yang tega nilep dana bansos di tengah kesulitan warga membuat publik bertanya-tanya, mengapa Juliari tak diganjar hukuman mati padahal ia dinilai ‘memenuhi syarat’ untuk itu.
Ini merujuk pada Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) menegaskan bahwa tindak pidana korupsi yang dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Keadaan yang dapat dijadikan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana itu dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.
Hukuman mati bagi koruptor juga pernah disinggung Presiden Joko Widodo pada peringatan hari antikorupsi pada 9 Desember 2019. Saat itu Jokowi menjawab pertanyaan salah seorang siswa SMKN 57 Jakarta mengenai kemungkinan koruptor dihukum mati.
"Kalau korupsi bencana alam dimungkinkan. Misalnya ada gempa, tsunami di Aceh atau di NTB, kita ada anggaran untuk penanggulangan bencana, duit itu dikorupsi, bisa (dituntut hukuman mati)," tutur Jokowi saat itu.
Sama Jahatnya seperti Narkoba dan Teroris
Berdasarkan catatan, para pelaku korupsi di Indonesia memang belum pernah ada yang dijatuhi hukuman mati. Namun mengutip Tempo, sejauh ini ada dua pelaku korupsi yang dijatuhi vonis penjara seumur hidup.
Mereka adalah Brigjen TNI Teddy Hernayadi yang dinyatakan bersalah atas kasus korupsi pengadaan Alutsista di Kementerian Pertahanan dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar yang terbukti bersalah lantaran menerima hadiah dan tindak pidana pencucian uang terkait sengketa Pilkada di MK.
Sementara vonis hukuman mati sejauh ini baru dijatuhkan pada kasus narkotika, pembunuhan berencana, kekerasan seksual, dan terorisme.
Pengamat hukum pidana Masykur Isnan menyayangkan fakta bahwa hukuman mati tidak diberikan kepada tersangka kasus korupsi saat terjadi pandemi. Padahal, hal tersebut sesuai dengan undang-undang yang ada.
“Pemberatan hukuman mati diberikan terhadap tindakan kondisi tertentu, misalnya saat bencana alam atau keadaan bahaya, seperti saat pandemi COVID-19 kemarin,” kata Masykur Isnan kepada VOI.
Baca juga:
- Menelisik Kasus Perceraian di Indonesia yang Terus Meningkat, Penyebab dan Akibat yang Ditinggalkan
- Kita Harus Bangga Bahasa Indonesia Sudah Resmi Digunakan di Sidang Umum UNESCO
- Setelah Firli Bahuri Jadi Tersangka, Akankah Citra KPK Kembali Bersih?
- Kenaikan UMP 2024 Terlalu Rendah: Hanya Untungkan Pengusaha, Buruh Tetap Sengsara
“Faktualnya jaksa seperti tidak serius atau pihak KPK belum secara serius menjadikan itu sebagai sanksi utama,” imbuhnya.
Padahal menurut Masykur Isnan, kejahatan korupsi tidak lebih ringan dibandingkan kejahatan lain seperti pengedar narkoba maupun terorisme.
“Di luar konteks ini, pidana mati untuk kasus korupsi emang belum terjadi. Padahal narkoba, korupsi dan teroris sama bejatnya,” tutur Masykur Isnan.
“Impaknya (korupsi) terhadap masyarakat, sosial, budaya, dan negara sangat berat. Tapi sayang ini tidak diprioritaskan,” pungkasnya.