Resensi Film The Invisible Man-Teror Sosok Tak Kasat Mata
JAKARTA - Bisa dihitung jari perkara film-film adaptasi dari novel yang mampu memuaskan pembacanya. Alih-alih mendapat sambutan yang mendalam, mereka yang menyaksikan tak jarang langsung memberi cap buruk tanpa menikmati narasi yang menjadi pembeda antara nikmatnya membaca maupun menonton.
Untungnya, saat menyaksikan film bergenre psychological thriller yang adaptasi dari novel karya Herbert George Well dengan judul sama, The Invisible Man, hal itu sedikit terobati. Walau agak berbeda sudut padang antara versi buku dan film, kami cukup puas karena film dapat mewujudkan keseruan yang sama sebagaimana di buku.
Meski begitu, ada perbedaan pandangan antara orang yang pertama kali menyaksikan The Invisible Man dengan mereka yang sebelumnya pernah menyaksikan adaptasi novel yang sama. Sebelum rilisan 2020 ini, novel ini telah diadaptasi dua kali. Pertama pada tahun 1933 dengan judul The Invisible Man karya sutradara James Whale, dilanjut dengan The Invisible Man Returns karya Joe May tahun 1940.
Kembali ke The Invisible Man rilisan 2020. Film ini mengandung banyak unsur kejutan sejak awal hingga akhir cerita. Film ini memberi garansi untuk penonton, bahwa mereka tak akan memalingkan tatapan walau hanya sekejap. Leigh Whannel mampu mengarahkan adegan-adegan film dengan penuh efek hipnosis.
Teror sosok tak kasat mata
Film ini dibuka dengan kisah hubungan kurang harmonis antara Cecilia (Elisabeth Moss) dengan kekasihnya, Griffin (Oliver Jackson-Cohen) yang berprofesi illmuwan. Cecilia yang merasa hidupnya dikontrol secara penuh layaknya seorang robot --baik cara berbicara, berpakaian, sampai apa yang dimakan sehari-hari-- kemudian berencana melarikan diri dari rumah ultra-modern Griffin.
Pelariannya berhasil. Sampai-sampai, Griffin tak mengetahui di mana Cecilia bertempat tinggal. Selang beberapa lama, Cecilia yang sudah nyaman bersembunyi di rumah teman polisinya, James (Aldis Hodge), dan anak perempuannya, Sydney (Storm Reid), mendapat kabar mengejutkan bahwa kekasihnya sudah meninggal dunia karena bunuh diri.
Bagi Cecilia, berita kematian itu barangkali bisa jadi kabar bahagia menuju kebebasan sesungguhnya. Namun, sepucuk surat yang dikirim untuknya mengubah keadaan itu. Dalam surat itu, Griffin mewariskan seluruh kekayaannya untuk Cecilia.
Cecilia yang sempat ragu kemudian memantapkan diri untuk menanggung warisan tersebut. Namun, siapa sangka, keputusan itu yang jadi awal rangkaian teror yang dilakukan mantan kekasihnya. Hingga lama-kelamaan Cecilia mulai menyadari kehadiran Griffin di rumah persembunyiannya.
Uniknya, sang kekasih yang menerornya ternyata tak memiliki wujud alias sudah menjadi mahluk tak kasat mata. Oleh sebab itu, setiap kali ia berusaha meminta bantuan kepada teman-temannya, mereka kemudian menganggap dirinya sebagai seorang yang tak waras.
Apakah nasib akan memihak ke Cecilia, atau malah nasib baik berada pada garis hidup kekasihnya? Tentu hal itu menjadi sebuah kejutan bagi siapa saja yang mau meluangkan waktu selama dua jam untuk menikmati gairah visual dari film hasil adaptasi novel terkenal ini.
Selain itu, sajian menarik dari film ini mampu memancing mereka yang menjadi penonton guna menerka-nerka jalan cerita yang tak mudah ditebak, seperti saat penonton dibikin gelisah akan tipu muslihat serta permainan pikiran dari alur keseluruhan film.
Perihal kualitas akting Cecilia pun kiranya cukup memikat. Mimik wajahnya kala lelah, takut, marah, hingga depresi mampu menyiratkan pesan kepada penonton guna mengamini tiap fase yang dilalui oleh tokoh utama.
Akting keren tersebut menjadi paripurna berkat hadirnya musik latar nan mencekam, serta pergerakan kamera yang membuat seisi bioskop menjadi ikut-ikutan menahan napas oleh tingkah laku dari mereka yang memainkan peran menghindari manusia kejam yang tak kasat mata.
Bagi Anda yang masih kebingungan mengisi waktu luang diawal Maret, film ini dapat jadi altenatif menarik dalam rangka mematik semangat setelah seharian bekerja. Paling tidak, The Invisible Man dapat membuka diskusi tentang beberapa hal, mulai dari kemungkinan-kemungkinan pengemmbangan cerita hingga alternatif akhir kisah.