Saksi Ahli Terdakwa Korupsi Alat Metrologi Disperindag Dompu Sebut e-Katalog Tutup Celah Mark-Up Pengadaan
JAKARTA - Ahli hukum pidana Universitas Mataram (Unram) Amiruddin mengatakan aplikasi e-katalog merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk menutup celah perbuatan "mark-up" atau penggelembungan harga di proses pengadaan barang dan jasa.
Amiruddin dihadirkan sebagai saksi ahli meringankan terdakwa eks Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Dompu Sri Suzana dalam sidang dugaan korupsi pengadaan alat metrologi dan sarana lainnya di Disperindag Dompu, Nusa Tenggara Barat (NTB).
"Kalau dahulu ada standar harga sesuai ketetapan gubernur, kalau enggak ada, maka yang dipakai harga pasar. Tetapi, kalau yang dipakai harga kira-kira, maka itu yang bisa berpotensi terjadi 'mark-up'. Makanya dibuat e-katalog sebagai dasar penyusunan HPS (harga perkiraan sendiri) untuk mencegah terjadi 'mark-up'," kata Amiruddin dalam persidangan di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Mataram, NTB, Jumat 17 November, disitat Antara.
Amiruddin memberikan pernyataan demikian menanggapi pertanyaan hakim Adhoc Fadhli Hanra yang memberikan ilustrasi perkara ini dengan mengatakan ada perubahan dalam proses pengadaan dari e-katalog menjadi lelang cepat. Perubahan dalam proses pengadaan ini yang diduga memberikan imbas pada perubahan nilai HPS barang.
Selanjutnya, Fadhli Hanra menanyakan Amiruddin perihal pinjam bendera dalam proses pengadaan.
"Ada pihak swasta yang inginkan proyek ini lalu meminjam bendera. Dalam dunia hukum, istilah ini tidak dikenal, tetapi bagi dunia swasta, ini biasa terjadi. Bagaimana tanggapan ahli?" tanya Fadhli.
"Kalau kita ikuti norma hukum, itu enggak boleh, karena itu sudah menyangkut persoalan kompetensi, ada penyimpangan yang terjadi, ada pelanggaran etika pengadaan. Harusnya, itu (lelang) dibatalkan oleh pejabat pengadaan," jawab Amiruddin.
Perihal adanya hubungan kerabat antara pejabat pengadaan dengan pihak yang terlibat dalam proyek tersebut turut menjadi bahan pertanyaan Fadhli kepada ahli.
"Apakah itu bisa dikatakan melanggar etika pengadaan barang dan jasa sesuai yang diatur dalam Perpres 54 Tahun 2010?" tanya Fadhli.
"Iya, salah satu di antaranya harus mundur. Karena persoalan itu sudah berkenaan dengan konflik kepentingan," kata Amiruddin.
Fadhli kembali melayangkan pertanyaan terkait pengadaan barang yang datang itu sama, namun memiliki fungsi berbeda.
Menurut Prof. Amiruddin, adanya hal tersebut seharusnya menjadi bahan adenddum para pihak yang berkontrak.
"Supaya tidak nampak penyimpangan dalam perjanjian. Jadi, harus ada adenddum antara pihak yang berkontrak," ujar Amiruddin.
Persoalan denda keterlambatan, ahli melihat hal tersebut bisa berlaku apabila pihak pemilik proyek merasa rugi dengan adanya keterlambatan tersebut.
"Tetapi, pihak yang merasa dirugikan ini bisa melayangkan somasi terlebih dahulu. Kalau enggak memenuhi, baru proses hukum," kata Amiruddin.
Terakhir, Fadhli menanyakan perihal kerugian negara yang muncul dalam perkara pengadaan barang dan jasa.
"Ini bagaimana, ada proses audit dari APIP (aparat pengawasan intern pemerintah) yang sedang berjalan, tiba-tiba persoalannya masuk ke ranah pidana?" tanya Fadhli.
"Sepatutnya diselesaikan dahulu pelanggaran administratifnya di APIP, supaya jangan sampai kesannya kita mengkriminalkan orang atas tindakan administratif itu," jawab Amiruddin.
Baca juga:
- Atensi Sidang Korupsi Alat Metrologi Disperindag Dompu, KY Minta Hakim Tegakkan Kode Etik
- Setelah Periksa Firli Bahuri, Penyidik Tipikor Bareskrim-Polda Metro Langsung Konsolidasi
- OTT Pj Bupati Sorong Jadi Warning, Pj Papua Barat Daya Sebut Penggantinya Sekda Cliff Japsenang
- Ternyata Video Viral Balon Udara Ganjar-Mahfud di Monas Editan
Bagaimana dengan proses audit dari lembaga lain yang juga muncul bersamaan dengan proses audit oleh APIP?
"Lihat kompetensinya dahulu, yang awal itu (APIP) 'kan persoalan temuan, harusnya administratif diselesaikan lebih dahulu, baru pidana-nya," kata Amiruddin.
Terdakwa Sri Suzana dalam perkara ini berperan sebagai Kepala Disperindag Dompu yang turut mengemban tugas sebagai kuasa pengguna anggaran (KPA) sekaligus pejabat pembuat komitmen (PPK).
Sri Suzana didakwa turut bertanggung jawab dari munculnya kerugian negara hasil audit Inspektorat NTB senilai Rp398 juta dari total anggaran Rp1,5 miliar.
Dalam dakwaan, jaksa menyatakan bahwa hasil pekerjaan proyek tidak sesuai dengan spesifikasi pengadaan hingga muncul kerugian negara.
Perbedaan spesifikasi tersebut diduga akibat adanya penyusunan HPS yang tidak sesuai aturan. Sejumlah item barang ada yang belum datang, namun dinyatakan lengkap oleh panitia pemeriksa.
Pelaksana proyek kementerian ini adalah CV Fakhrizal yang meminjamkan bendera kepada seorang pengusaha bernama Yanrik.